Betapa sulitnya ikhlas dalam menimba ilmu

Semoga Allah senantiasa merahmati salafus sholeh dengan kejujuran dan kerendahan hati mereka. Mereka senantiasa khawatir jika apa yang mereka perbuat dalam menimba ilmu dan menyampaikannya,ternyata bukan untuk Allah semata. Betapa khawatirnya mereka ditimpa nifaq amali (kemunafikan dalam berbuat), yang zahirnya terlihat mulia dan indah, dipuji dan disanjung manusia, dijadikan panutan dan rujukan, tetapi hakikatnya busuk dan hina karena ternyata bukan untuk Allah.

Bentuk kekhawatiran mereka ini tertuang dalam ungkapan-ungkapan yang akan kita baca berikut ini> satu hal yang harus kita pahami bahwa ungkapan-ungkapan mereka bukanlah menunjukkan benarnya mereka berbuat kemunafikan—hasya wa kalla—tetapik dalam rangka kekhawatiran mereka agar selalu berjalan dalam bingkai khauf untuk menghilangkan sifat ujub yang selalu datang menggoda manusia. Wallahi tidak pernah kita dapati di muka bumi ini orang-orang seperti mereka dalam keikhlasan dalam segala perbuatan dan perkataan mereka.Begitulah selayaknya seorang mukmin sejati, yang senantiasa introspeksi diri.

Adapun ciri-ciri kemunafikan adalah ketika seorang merasa bangga dengan amal dan perbuatannya, ujub dengan ilmu dan wawasannya, sehingga terlihat jelas dari pamer diri yang senantiasa menghiasi lidah dan gerak-geriknya, wallahul musta’an.

Adalah Alhasan al-Basri senantiasa mencela dirinya dan berkata:

تتكلمين بكلام الصالحين القانتين العابدين ، وتفعلين فعل الفاسقين المنافقين المرائين ، والله ما هذه صفات المخلصين

“Engkau selalu berkata-kata dengan perkataan orang2 soleh yang mulia,perkataan ahli ibadah yang tunduk,sementara yang engkau lakukan adalah perbuatana orang-orang fasik yang selalu riya, demi Allah, tidaklah ini ciri-ciri orang yang ikhlas”.

Berkata Sufyan as-Tsauri:

كل شئ أظهرته من عملي فلا أعده شيئاً ؛ لعجز أمثالنا عن الإخلاص إذا رآه الناس

“Semua amalan yang aku tampakkan tidak pernah kuanggap,karena sulitnya ikhlas bagi orang-orang seperti kita ini, ketika amal yang kita lakukan dilihat manusia.”.Saya berkata:”wallahi benar apa yang beliau katakan,kalaulah orang seperti Beliau merasakan betapa sulitnya ikhlas…apalagi orang2 seperti kita…wallahul musta’an.

Berkata para salaf:

أعز شيئ في الدنيا الإخلاص ، وكم أجتهد في إسقاط الرياء عن قلبي ، وكأنه ينبت فيه على لون آخر

 Perkara yang paling berat di dunia ini adalah ikhlas, berkali-kali aku berusaha untuk menggugurkan riya dari hatiku,tapi seolah dia tumbuh kembali dalam bentuk lain”.

Berkata al-Fudhail bin Iyadh:

إذا كان الله يسأل الصادقين عن صدقهم ، مثل إسماعيل وعيسى عليهما السلام ، فكيف بالكاذبين أمثالنا ؟!!

“jika saja Allah akan mempertanyakan kejujuran orang-orang yg jujur tentang kejujuran mereka,seperti Ismail&Isya–alaihimas salam–apalagi dengan para pendusta seperti kita-kita ini?!!”. Saya berkata: “bagaimanalagi dengan kita-kita yang tidak pernah dapat menyamai Fudhail walaupun secuil kukunya….inna lillahi wa inna ilaihi rajiun.

Berkata Abu Ubaidah Ma’mar bi al-Mutsanna:

من أراد أن يأكل الخبز بالعلم فلتبك عليه البواكي

“Barang siapa yang inggin makan roti dengan menjual ilmu…maka ia layak ditangisi orang-orang yg menangis”.

Berkata az-Zahabi:

ينبغي للعالم أن يتكلم بنية وحسن قصد ، فإن أعجبه كلامه فليصمت ، وإن أعجبه الصمت فلينطق ، ولا يفتر عن محاسبة نفسه فإنها تحب الظهور والثناء

“Selayaknya seorang Alim berkata-kata dengan niat yg baik,andaikata dia merasa takjub ketika berbicara hendaklah dia diam,jika dia merasa takjub dengan diamnya hendaklah dia berbicara,jangan pernah jenuh mengintrospeksi diri”.Dalam biografi Hisyam ad-Dustuwa’i ,sebagaimana di nukil az-Zahabi pada kitab siyar ‘alam an-nubala,Berkata Aun bin Imarah : ” Aku pernah mendengar Hisyam ad-Dustuwa’i berkata:”

والله ما أستطيع أن أقول أنِّي ذهبت يومًا قط أطلب الحديث أريد به وجه الله عز وجل

:”demi Allah aku tidak mampu mengatakan bahwa aku pergi menuntut ilmu tentang hadis seharipun dengan niat mencari wajah Allah”.

Az-Zahabi berkata mengomentari perkataan ad-Dustuwa’iI:

والله ولا أنا ، فقد كان السلف يطلبون العلم لله فنبلوا ، وصاروا أئمة يقتدى بهم ، وطلبه قوم منهم أولا لا لله ، وحصلوه ثم استفاقوا ، وحاسبوا أنفسهم ، فجرهم العلم إلى الإخلاص في أثناء الطريق

“Demi Allah, akupun tidak juga pernah berani mengatakan demikian,sesungguhnya para salaf menimba ilmu benar-benar untuk Allah maka mereka menjadi mulia,mereka menjadi para ulama panutan,sebagian dari mereka awalnya menimba ilmu bukan untuk Allah, setelah mereka mendapatkannya, ilmu meluruskan niat mereka di tengah jalan.

Berkata Mujahid dan yang  lainnya :”Kami menuntut ilmu ini awalnya tidak memiliki niat yang besar, kemudian belakangan Allah berikan kami niat (yang benar)”. Sebagian lainnya berkata: “Awalnya kami menimba ilmu bukan untuk Allah, namun ilmu enggan dituntut kecuali hanya untuk Allah”. Ini adalah hal yang baik tentunya, yang membuat mereka kelak menyebarkannya dengan niat yang baik pula.

Ada sebagian orang yg menuntut ilmu dengan niat yang rusak,untuk dunia dan dipuja manusia,cuma itu sajalah yang mereka peroleh. Rasulullah s bersabda:

“من غزا ينوي عقالاً فله ما نوى “

“barang siapa yang berperang karena inggin mendapatkan seutas tali saja “.HR. Ahmad,Nasa’ iy dan Hakim  dan syeikh al-Albani mensahihkannya dalam sahih al-Jami’.

Orang-orang seperti mereka ini(…wallahul musta’an..wala ibarri’u nafsi..).tidak akan pernah dinaungi cahaya ilmu, ilmu tidak dapat mengekang hawa nafsu mereka, dan mereka tidak akan mendapat tempat dalam hati manusia, ilmu mereka tidak akan membuahkan amal, sebab hakikat alim adalah yang takut pada Allah.

Sebagian orang menimba ilmu dan mendapatkannya, dengan itu dia memperoleh kedudukan..kemudian mereka berbuat kezaliman ,tidak dapat dikekang dengan ilmunya,mereka merasa enteng melakukan dosa besar…maka celaka mereka..mereka tidak layak disebut ulama.

Sebagian lainnya tidak takut pada Allah dengan ilmu yang dia miliki,mereka berupaya berbuat tipu muslihat,berfatwa serampangan mencari-cari rukhsah, mereka nekat menyampaikan hal-hal yang syaz dari hadis-hadis yang tidak sah.

Sebagian lainnya begitu berani terhadap Allah, nekat memalsukan hadist-hadist,maka Allah mempermalukannya dan menyingkap aibnya,ilmunya lenyap dan bekal yang dia miliki menggiringnya ke neraka.

Berbagai tipe di atas sebenarnya telah banyak menimba ilmu dan menyebarkannya, mereka telah menggeluti ilmu secara global, namun setelah mereka datang generasi yang lebih buruk, tampak miskinnya mereka dari ilmu dan amal, dan mereka digantikan oleh generasi berikutnya yang lebih parah lagi, penampilan zahirnya seolah-olah ulama, padahal mereka tidak menimba ilmu kecuali secuil saja, tetapi mereka memperlihatkan kepada manusia seolah-olah merekalah ulama yang mulia, mereka tidak pernah sadar bahwa hakikat ilmu adalah ibadah yang dapat mendekatkan mereka pada Allah,hal itu karena memang mereka tidak pernah mendapatkan guru yang dapat mereka jadikan contoh, jadilah mereka bagaikan pengembala kambing yang sibuk berteriak. Orang yang paling baik dari mereka hanyalah sang kolektor pengumpul kitab-kitab, yang terkadang, sesekali membuka dan mentela’ahnya yang tidak pernah dia kuasai.

Semoga Allah menyelamatkan dan memaafkan kita. Sebagian orang berkata:” Aku tidak pernah melihat orang alim , dan akupun bukan pula berilmu.(siyar 7/152-153)

Alangkah indahnya kejujuran para ulama, mereka tidak pernah takut terhadap apapun celaan manusia, tentunya hal ini menunjukkan betapa tinggi tingkat keihlasan mereka dalam menimba ilmu, betapa khawatirnya mereka ujub terhadap diri mereka. Hal seperti inilah yang membuat mereka dikenang sepanjang masa walaupun jasad mereka telah berkalang tanah. Mereka hidup ditangah-tengah manusia, ucapan mereka terus di ulang-ulang, kitab mereka terus di kaji dan dijadikan rujukan, Allahu akbar……sementara sebagian orang telah menjadi bangkai-bangkai berjalan di tengah-tengah manusia. Hidup hanyalah sekedar memuaskan syahwat dan hawa nafsu untuk bersenang-senang laksana binatang. Dalam hal dunia, merekalah ahlinya…namun untuk akhirat merekalah sebodoh-bodohnya manusia. Hidup hanya untuk berbangga-bangga dengan harta dan jabatan yang mereka kejar…inna lillahi wa inna ilahi raji’un.

Dalam biografi ibnu juraij sebagaimana di nukil oleh az-Zahabi, berkata al-Walid bin Muslim: “Aku bertanya pada imam al-Auza’I dan said bin abd aziz dan ibnu juraij;”untuk siapa kalian menimba ilmu?” semua mereka berkata; “untuk diriku”.kecuali ibnu Juraij yang menjawab:”aku belajar ilmu untuk manusia.”

Berkata az-Zahabi–rahimahullah–mengomentari kisah ini:”alangkah baiknya kejujuran,tapi pada hari ini jika kau tanyakan orang bodoh;”untuk siapa kamu menimba ilmu?”Maka segera dia menjawab:”aku menuntutnya karena Allah”,padahal dia berdusta karena tujuannya hanyalah untuk dunia..alangkah sedikitnya orang yang mengerti(siyar 6/328).

Semoga Allah merahmatimu wahai imam Zahabi…bagaimana komentar anda jika menjumpai zaman kami ini, seolah-olah anda telah mengetahui aib kami pada zaman ini, alangkah langkanya ulama, alangkah asingnya murabbi yg dapat menjadi panutan,zaman dimana yg menjadi ulama adalah orang-orang karbitan,yang membangun agama di atas kedustaan. Semoga Rahmat dan maafMu ya Rabbi meliputi kami.(Di sarikan dari http://saaid.net dengan sedikit tambahan dan perubahan)

Batam, 01 oktober 2011

Abu Fairuz