Tanya Jawab dengan para Masyayikh Yordania ( Murid –Murid Imam Al Albani )

SOAL-JAWAB ANTARA PESERTA DAURAH SYAR’IYYAH

DENGAN PARA MASYAYIKH—MURID-MURID DARI SYEIKH MUHAMMAD NASIRUDDIN AL-ALBANI HAFIZAHUMULLAH—

Yang diadakan di Ma’had al-Irsyad Surabaya tgl 17-21 Maret 2002

S. Sebelumnya anda nyatakan bahwa dakwah salaf menyeru kepada Islam secara menyeluruh, salaf menyeru kepada rukun Islam, jihad dan politik. Pertanyaan kami, sejauh manakah diperbolehkan ikut serta dalam pertarungan politik?

J. (Syeih Salim al Hilali). Islam adalah agama yang paripurna (syamil) dan diridhai Allah untuk kita. Yang kita disuruh berpegang teguh dengannya.Allah berfirman yang artinya: ”Sesungguhnya Agama yang diridhai Allah di sisiNya adalah Islam”. “Barang siapa yang mencari agama selain Islam maka tidak akan diterima darinya dan kelak hari kiamat dia termasuk orang-orang yang merugi. Allah menyeru untuk masuk ke dalam Islam Secara menyeluruh dengan firmanNya: Hai orang-orang yang berfiman masuklah ke dalam assilmi (Islam) secara keseluruhan”. Dalam menafsirkan kata assilm, Ibn Abbas berkata :” As-Silmi” adalah Islam. Jadi Allah memerintahkan kita untuk masuk ke dalam agama ini secara menyeluruh, atau masuk secara total ke dalam nya.

Adapun “As-Siayasah”(politik) dialah hakikat Islam, karena makna siyasah sendiri adalah mengatur kemaslahatan umat dengan hal-hal yang tidak bertentangan dengan kitabullah dan Sunnah rasulNya.. Dalam merealisasikannya dibutuhkan suatu manhaj, ilmu ataupun orang-orang yang faham kemaslahatan umat.

Para ulama Islam telah mengarang berbagai macam literatur siayasah syar’iyyah (politik dalam syariat Islam) di antaranya: buku al-ahkam as-Sultaniyyah karya al-Imam Al-Mawardi, As-Siyasah As-Syar’iyyah karya Ibn Taimiyyah dan Abu Ya’la al-Musili dan At-Turuq al-Hukmiyyah karya Ibn Al-Qayyim dan sebagainya yang keseluruhannya menerangkan bahwa Islam benar-benar memperhatikan kemaslahatan umat ,.

Islam merupakan pewaris agama seluruh nabi-nabi, Rasululullah Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam . Bersabda: “Bani Israil dipimpin oleh para nabi, jika seorang nabi wafat maka akan digantikan dengan nabi lainnya”, beliau juga bersabda: ”Akan datang setelahku para khulafa (pemimpin).

Yang mampu memahami kemaslahatan suatu Ummat setelah para nabi adalah para ulul amri yakni al-hukkam (para pemimpin ) dan Ulama, merekalah yang berhak untuk masuk ke dalam kancah perpolitikan ini untuk kemaslahatan umat.

Para pemimipin bertugas menjalankan syariat Allah, sedangkan para ulama bertugas mengarahkan umat dan menunjuki para umara. Yang berkompeten dalam hal ini adalah orang yang berilmu dan paham dengan hukum syariat . karena Kemaslahatan umat memerlukan pemahaman agama yang sempurna.

Adapun kata “politik“ yang dipahami pada zaman ini sebenarnya tidak pernah dikenal oleh Islam, .karena pengertian berpolitik di era ini adalah sebatas kemampuan untuk berdebat, menggerakkan massa, kemampuan berkelit, berubah-ubah warna, kemunafikan dan selalu mengikuti kemana arah angin bertiup. Islam berlepas diri dari “politik“ yang seperti ini.karena tidak akan mendatangkann kemaslahatan kepada ummat.

Inilah perbedaan makna “politik” yang diinginkan Allah dengan makna yang dipahami oleh orang-orang sekarang, yang tidak lain target utamanya agar sampai ke tampuk kekuasaan, karena itu seorang politikus rela untuk bekerja sama dengan segala macam cara dan segala macam mazhab. Demi ambisi ini dia rela untuk ganti-ganti warna, bersikap plin-plan dan berbuat kemuanafikan dengan politikus lainnya, kamim berlindung dari hal ini kepada Allah Tuhan alam semesta..

Adapun siyasah syar’iyyah akan selalu di bawah pimpinan seorang alim yang rabbani , Allah berfirman:” Tetapi jadilah kalian ulama yang Rabbanai dengan apa-apa yang kalian ajarkan dari alkitab dan dengan apa-apa yang kalain pelajari.

Ciri-ciri alim Rabbani adalah seorang yang mendidik ummat dengan masalah-masalah yang sederhana terlebih dahulu sebelum masuk kepada masalah-masalah yang besar. Dia paham betul apa yang dibutuhkan umat, karena itu, dengan cara perlahan da’i mendidik ummat hingga sampai kepada kesempurnaan dengan izin Allah subhanahu wa ta’ala .

S. kapan seseorang dikatakan menyelisihi paham salaf, dengan kata lain kapan dia dikatakan bukan seorang salafi? dan bolehkah kita katakan bahwa si fulan salafi aqidahnya tetapi ikhwani manhajnya?

J. (Syeikh Musa ibn Nasr) Bukanlah tiap orang berhak –baik seorang alim ataupun penuntut ilmu— untuk mengeluarkan ataupun memasukkan seseorang ke dalam salafiyyah. Karena salafiyyah bukanlah perusahaan, yayasan sosial, ataupun partai politik yang dapat memecat seseorang ataupun memberhentikannya.. Salafiyyah adalah Islam itu sendiri. Tidak seorangpun dapat mengeluarkan seseorang dari dalam Islam, sebab seseorang tidak akan keluar dari Islam kecuali dengan kekafiran ataupun mengingkari sesuatu perkara prinsip yang telah diketahui secara pasti dalam agama. Seseorang tidak akan keluar dari Islam, kecuali dengan beberapa persyaratan yang telah disebutkan ulama.

Ungkapan yang diperbolehkan sebatas: “si fulan telah menyelisihi manhaj salaf, sifulan telah meyelisihi aqidah, menyelisihi apa-apa yang diperbuat salaf” hal ini kita nyatakan jika dia keliru dalam pemahaman salaf atau menjauhi kebenaran salaf.dalam masalah-masalah ataupun kaedah-kaedah tertentu .

Adapun orang orang yang mencampuradukkan berbagai macam pola, dia menyatakan rela dengan aqidah salaf tetapi tidak dengan manhaj salaf, maka hal ini tidak pernah didapati dalam manhaj para salaf. Sebab seseorang harus menjadi seorang salaf yang tulen sejak dari ujung rambutnya hingga ujung kakinya.

Seorang yang mengaku salaf harus mengambil agama ini secara keseluruhannya. Dia harus rela dengan aqidah salaf dan manhaj salaf, berakhlak layaknya akhlak salaf, beramal sebagaimana yang diamalkan salaf. Inilah dia seorang salafi. Sebab Allah subhanahu wa ta’ala mengatakan: ”Hai orang-orang beriman masuklah kalian ke dalam Islam secara keseluruahan” . kami tidak pernah tahu ada seseorang salafi yang rela atau mengakui kebenaran aqidah salaf sementara dia mengambil pemikiran hizbiyyah. Melihat dengan kaca mata hizbiyyah, dan tidak mendekat kecuali kepada hizbnya, loyalnya dan cintanya hanya pada hizb-nya, benci jika yang datang kepadanya bukan dari kelompoknya, sekalipun orang yang paling alim, paling benar dan paling tunduk mengikuti sunnah Nabi dan petunjuk para sahabatnya.

Sifat talfiq ( memilih-milih mana yang dia suka berdasarkah hawa nafsu-pent) ataupun ganti-ganti warna ini, sangat bertentangan sekali dengan manhaj salaf. Ketika anda mengatakan “manhaj salaf” maka sebenarnya manhaj ini adalah manhaj yang sempurna yang masuk di dalam cakupannya aqidah, akhlak , muamalah dan segala sesuatu yang menyangkut Islam baik hukum-hukumnya dan kaedah-kaedahnya.

Tetapi kesempurnaan hanya milik Allah subhanahu wa ta’ala semata, dan yang maksum hanyalah Rasulullah seorang, dengan demikian kita jangan mengganggap bahwa seseorang salafi itu dapat steril dari berbagai kekurangan dan aib, atau steril dari segala ketergelinciran dan kekeliruan. Namun pasti sangat jelas beda seseorang yang keliru karena salah dalam memahami sesuatu masalah dengan seseorang yang dengan sengaja membangun mazhabnya dengan hal-hal yang bertentangan dengan paham salaf; mencurahkan energi dan daya pikirya untuk membela dan memepertahankan ideologinya itu; memberikan wala dan baro berdasarkan itu. wabillahi at-taufik.

S: Apa pendapat anda dalam menanggapi maslak qiyas, apakah dia termasuk salah satu sumber selain Alquran dan as-Sunnah ?

J. (Syeikh Masyhur Salman) Masalah ini adalah permasalahan yang banyak membuat seseorang keliru pemahamannya dan tergelincir, namun jawaban yang rajih bahwa syariat ini memiliki illat (sebab dibuatnya hukum-pent) yang mu’tabarah (dianggap). Sebagaimana yang tertulis dalam surat Umar kepada Abu Musa Al-As’ari yang berbunyi: ”Kenalilah sesuatu dengan hal-hal yang serupa dengannya maka engkau akan mengetahui kebenaran”.

Tetapi Qiyas bukan sumber yang independen layaknya Alquran dan As-Sunnah, dia hanyalah sebuah masdar taba’i (dasar yang mengikut )di bawah cakupan Alquran dan As-sunnah. Kita paham dari Alquran dan As-sunnah adanya kaedah-kaedah umum dan ketentuan–ketentuan dasar, maupun kaedah-kaedah fikih. Dengan itulah kita berusaha menyesuaikan hukum-hukum dengan menganalogikannya kepada kasus-kasus yang serupa.

Dalam menyikapi Qiyas, manusia yang keliru terbagi menjadi dua kelompok yang bersebrangan: pertama adalah kelompok yang menolak qiyas secara total dan tidak menganggap bahwa syariat ini memililiki illat, memiliki hikmah bahkan mengingkari bahwa syariat ini ada yang ma’qulatul makna (dapat di rasionalkan. pent). kelompok ini adalah keliru.

Adapun kelompok kedua: adalah kelompok yang terlalu luas dalam penggunaan qiyas sehingga meremehkan nash-nash, bahkan bukan sekedar menjadikannya dasar hukum ketiga saja, lebih dari itu dia mendahulukannya dari nash-nash, walaupun pada dasarnya sepakat menerima nash. Kelompok ini juga keliru sebagaimana yang pertama.

Jawaban yang benar bahwa Qiyas mu’tabar (dianggap sebagai salah satu rujukan.pent). Ketika Ahmad bertemu dengan Syafi’i, –Ahmad sangat mencintai Syafii—. Dia pernah menukil sebuah perkatan Syafii ketika ditanya mengenai kehujjahan qiyas: ”Qiyas dapat dipakai hanya pada kondisi darurat. inilah yang diperkuat Imam Ibn Qoyyim dalam keterangannya dan penjelasannya yang sangat tepat dan sempurna hingga tidak perlu lagi ditambahi dalam kitabnya: ”I’lam al-Muwaqqi’in ‘an Rabbi al-‘alamin. Kemudian masalah ini turut diperbincangkan oleh Jabariyyah dan Qodariyyah sehingga terseret ke dalam pemahaman aqidah yang rusak.

Pendapat yang paling benar dan pertengahan adalah yang kusebutkan tadi, namun kalimat yang kusampaikan ini tentu tidak cukup untuk menerangkan secara rinci permasalahan ini dari apa yang diterangkan Ibn Qoyyim.

S. Apa yang dimaksud dengan masalih mursalah, Maslahat dakwah dan hakikat hizbiyyah?

J. Permasalahan ushul lainnya yaitu tentang maslahat mursalah. Banyak orang mencampur adukkan antara masalahat mursalah dengan bidah.

Bid’ah digolongkan menjadi dua: bid’ah hakikiyyah dan bid’ah idofiyyah. Jika sesuatu masalah mungkin berlaku dan terjadi di masa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam, tetapi ditinggalkan Rasulullah dan tidak pernah diperbuat para sahabat setelah wafatnya, maka dia digolongkan ke dalam bid’ah idofiyyah dan bukan maslahat mursalah,

Seperti zikir-zikir yang banyak kita dengar diucapkan di negeri ini setelah atau sebelum azan dikumandangkan. Sebab azan sendiri dimulai dengan sesuatu lafaz tertentu dan diakhiri dengan sesuatu lafaz tertentu pula, dan tidak diperlukan adanya tambahan lagi. Karena jika memang zikir-zikir ini baik dan boleh dilaksanakan tentulah mereka dapat melaksanakannya.

Adapun maslahat mursalah maka harus memiliki beberapa Kriteria tertentu, di antaranya: pertama: kemaslahatan itu sendiri hendaklah maslahat hakikikiyyah (masalah yang sebenarnya) bukan kemaslahatan yang masih wahahamiyyah (diragukan). kedua: harus benar-benar merupakan kemaslahatan yang mursalah atau mutlaqoh (kemaslahatan ansich) di mana perkara ini secara tekhnis tidak bertentangan dengan syariat dan tidak mungkin terjadi di zaman Sahabat, seperti penggunaan mikrofon dalam azan, ini bukan bid’ah tetapi merupakan contoh dari maslahat mursalah karena alat-alat seperti ini tidak pernah sebelumnya.

Jika sekiranya hal ini mungkin terjadi di zaman Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam namun ditinggalkannya pastilah penggunaan mikrofon seperti ini dianggap bid’ah. Sebab kita tahu bahwa azan disyariatkan untuk memberitahukan masuknya waktu shalat dan mikrofon ini benar-benar sangat fital digunakan untuk fungsi ini demi kemaslahatan agar orang dapat mendengarnya, sementara mustahil hal ini terjadi pada zaman rasul dan mereka tidak mengenal ataupun mempelajarinya. Maka hukumnya sama dengan hukum menggunakan kaca mata sebagai alat melihat dan membaca bagi orang-orang yang kabur penglihatannya, inilah dia maslahat. tetapi maslahat harus diletakkan sesuai dengan porsinya dan tidak terlampau dibesar-besarkan. jika dikatakan bahwa membaca Alquran dengna memakai kaca mata adalah sunnah, tentulah hal ini berlebihan. Namun banyak yang beraggapan bahwa orang-orang salaf tidak bisa membedakan antara maslahat dengan bid’ah, sebenarnya ini merupakan kezaliman yang nyata terhadap dakwah salaf.

Ungkapan bid’ah yang diucapkan oleh ulama salaf sebenarnya berdasarkan kriteria dan persyaratan tertentu yang diambil berdasarkan istiqra (pemahaman) terhadap nash-nash dan kaedah-kaedah yang mereka susun.Literatur yang sangat relevan dalam hal ini kusarankan agar membaca dua literature penting, pertama: karya Imam syatibi “al-I’tisom” di mana di dalamnya da membuat kaedah dasar mengenai ahli bid’ah. Penuntut ilmu syar’i dapat mengambil banyak manfaat dari buku ini. kedua: karya syaikh al-Islam Ibn Taimiyah Iqtido’ sirat al-mustaqim.

Adapun maslahat dakwah, banyak orang yang menggunakannya sebagai pembenaran atas berbagai kepentingan dan keingginan mereka.padahal maslahat dakwah harus dipandang dengan kacamata maslahat yang syar’i. Di dalam menyikapi berbagai masalah baru dan problematika besar yang berkembang, seseorang harus meruju’ kepada alim ulama. Jika terdapat sesuatu hal yang dianggap dapat dijadikan sebagai kemaslahatan dakwah, maka harus ditanyakan terlebih dahulu kepada para ulama agar mereka yang dapat menghukuminya.

Adapun masalahat yang bertentangan dengan nash syar’i seperti berbuat kebohongan, mendahulukan kepentingan pribadi dengan mengatasnamakan kepentingan agama tentulah tidak benar, oleh karena itu pastilah berbeda anarata orang yang selalu berjalan dan beputar di atas poros agama dengan orang yang memutarbalikkan agama; tentu berbeda antara seseorang yang paham dengan kemaslahatan mendesak yang harus diperbuat dalam suatu waktu tertentu dan diperkuat dengan nash-nash syar’i maupun dalil, dengan seseorang yang menjadikan agama laksana gudang agar dapat mengambil agama untuk kepentingan hawa nafsunya. Ahlu Sunnah sbagaimana yang dikatakan Imam Waki’: Menyebutkan apa-apa kelebihan dan kekurangan mereka, sementara ahlu bid’ah hanya menyebutkan kelebihan-kelebihan mereka saja dan menyembunyikan kekurangan mereka.

Terakhir adalah hakikat hizbiyyah. Al-wala (loyaliitas) dan al-bara’, sikap cinta ataupun benci haruslah berdasarkan agama. Kita dituntut untuk mencintai seseorang, membencinya wala maupun bara’ atasnya haruslah karena agama. Pernah terjadi antara seorang Muhajirin dengan seorang Ansor pertengkaran, sehingga keduanya menjerit minta bantuan kepada kaum masing-masing ”Wahai Ansor, Wahai Muhajirin!!”. Seketika Rasulullah datang menghampiri mereka dan bersabda: ”Kenapa kalian masih menyerukan fanatisme kejahiliyyah sementara aku ada ditengah-tengah kalian”. Hakikat Hizbiyyah yakni al-wala’ dan ­al-baro’ serta berkelompok yang mereka lakukan bukan berlandaskan syariat.

Agama kita sebenarnya sangat lengkap dan sangat munazzam (teratur rapi) kita diatur melaksanakan ibadah haji dalam satu waktu dan satu tempat, solat berjamaah ditempat yang ditentukan, berpuasa pada waktu yang sama, segala sesuatu diatur lengkap dalam agama kita. Barangsiapa yang tidak rela dengan agama ini semoga dijauhkan Allah. Cukuplah bagi kita untuk berkumpul di bawah satu panji, melaksanakan ketaatan dan ibadah. Inilah yang dapat kusampaikan.

S. Aku adalah pemula dalam menuntut ilmu syar’i, dengan ini kuharap anda dapat menerangkan perbedaan antara manhaj dan aqidah, dan apakah ada beda antara uslub dakwah dan manhaj dakwah?

J. (Syeikh Ali Hasan) Manhaj dakwah adalah penyampaian materi ilmiyyah yang merupakan landasan dasar berpijaknya aqidah. Sangat Mustahil suatu aqidah yang benar diletakkan dalam suatu tempat yang batil kemudian akidah ini tetap bersih, umpamakan kita meletakkan air yang bersih lagi jernih di dalam sebuah gelas yang bernajis dan kotor sekelilingnya, apakah air tadi tetap bersih dan jernih atau berubah menjadi kotor disebabkan najis dan kotoran yang melekat di gelas tadi? Begitu jugalah hubungan antara manhaj dan aqidah.

Sebagaimana kita ketahui bahwa aqidah yang dibawa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam dan diterima oleh para sahabatnya melaui proses talaqqi tentulah melalui cara-cara tertentu yang disebut dengan manhaj(metode). Maka kedua hal ini tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya. Jika terkadang berpisah satu sama lainnya dalam realita atau situasi dan kondisi tertentu tetapi sebenarnya keduanya akan tetap saling memepengaruhi satu sama lainnya.

Hanya ada dua kemungkinan, pertama: aqidah salaf yang merubah suatu manhaj menyimpang sehingga menjadi bermanhaj salafi, atau kemungkinan kedua malah sebaliknya manhaj menyimpang yang merubah aqidah salaf. Nauzubillah. Yaitu berubahnya seseorang yang manhajnya menyimpang dengan aqidah yang menyimpang menjadi selamat manhajnya seperti aqidahnya yang selamat (dengan mengikuti aqidah yang benar) atau sebaliknya aqidahnya mengikuti manahjnya yang keliru sehingga aqidahnya menjadi menyimpang pula. ini point pertama.

Adapun poin kedua, yakni dalam bergaul dan menyikapi manusia dalam permasalahan ini ada beberapa sikap. Pertama: yaitu orang-orang yang menerima dakwah ini dan tunduk di bawah hukum-hukumnya. Orang seperti ini harus dipergauli dengan cara baik-baik, dan jika dia berbuat kesalahan atau kekeliruan maka kesalahnnya ini tidak dapat disamakan dengan jenis manusia berikutnya,maka orang seperti ini harus dinasehati diperingati, diperintahkan kepada kabajikan dan dilarang dari kemungkaran, dipersilahkan untuk turut dalam majlis-majlis ilmu.

Jika dia memiliki ijtihad ilmiyyah dalam permasalahan yang diperbolehkan berijtihad di dalamnya, sementara dalam pandanganmu ijtihadnya keliru, maka hendaklah engkau berbuat sebagaimana orang-orang terdahulu sebelum kita. Tetapi jika ijtihadnya bukan pada masalah-masalah yang boleh diijtihadkan, ataupun pada masalah-masalah yang telah baku maka ijtihadnya tidak dianggap dan tidak didengar.

Tetapi hal seperti ini harus diterangkan terlebih dahulu kepadanya dan dinasehati. Tetapi jika dia tidak menerima nasehat dan malah membantah maka dia diperlakukan sebagaimana kita memeperlakukan jenis orang berikutnya.

Adapun jenis kedua: yaitu orang-orang yang memang pada dasarnya tidak mengakui manhaj salaf dan tidak berdiri di atas sunnah, maka bagaimana kita dapat memakaikannya pakaian yang dia sendiri melepaskannya (maksudnya bagaimana kita menisbahkannya kepada salaf sementara dia sendiri tidak mengakuinya.pent). Inilah kesaksiannya terhadap dirinya bahwa dia menyelisihi kebenaran dan ahli haq.

Adapun perbedaan antara manhaj da’wah dan uslub da’wah. Manhaj da’wah lebih umum daripada kata “manhaj” saja. Manhaj dakwah mencakup aqidah, ibadah, ilmu dan sebagainya. Manhaj da’wah adalah modal utama dan pondasi, sedangkan uslub da’wah adalah suatu metode (cara)menyeru orang kepada manhaj. Terkadang seseorang memiliki aqidah salaf dan manhaj salaf namun sayangnya dia tidak memiliki hikmah di dalam berda’wah, bahkan berdakwah dengan cara yang keras dan kasar, dalam hal seperti ini dikatakan bahwa orang tersebut: ”Aqidah dan manhaj nya salafi namun uslubnya tidak sesuai dengan salaf”, sebab salaf benar-benar membaca, memahami serta mengamalkan firman Allah subhanahu wa ta’ala kepada nabinya: ”Karena rahmat Allah lahkamu berlemah-lembut kepada mereka andai saja kamu berlaku kasar serta keras hati niscaya mereka akan menjauh darimu”. Sebagaimana Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda:” Sesungguhnya Allah itu Maha Lembut dan suka kelembutan, dalam hadis lain: ”Tidaklah kelembutan di dalam segala sesuatu kecuali akan mendatangkan kebaikan, dan tidaklah kelembutan itu dicabut dari sesuatu kecuali akan mendatangkan kejelekan”. Dalil-dalil ini seluruhnya berkenaan tentang uslub (metode) dalam berda’wah.

Dalam kesempatan lain sebenarnya terdapat pula beberapa situasi dan kondisi yang dituntut syariat untuk berlaku tegas dan keras, karena menyangkut perkara-perkara besar yang sangat urgen dan sangat substansial. Hal seperti ini sikap tegas sangat dibutuhkan dan menjadi tuntutan Sunnah walaupun orang banyak mencemooh dan mengganggap prilaku tegas ini sangat keras.

Kesimpulannya bahwa Uslub da’wah adalah metode yang ditempuh untuk menyeru orang kepada manhaj, baik dalam aspek kebenarannya, aqidah, ibadah dan lain-lain. Wallahu a’lam.

S. Apa yang dimaksud dengan at-tamyi’ bagaimana kriteria-kriteriannya, dan apakah perbedaannya dengan al-mudarah?

J ( Salim Hilali) maksud tamyi’ disini adalah keterikatan dalam hal wala dan baro’, yaitu sikap sebagian orang yang mengaku Islam yang menggambarkan seolah-olah boleh berwala dan bara’ terhadap orang-orang kafir. Sikap toleransi kebablasan ini terkadang membuat mereka mengganggap sama antara agama Yahudi, Nasarani dan Islam. Misi mereka adalah menyeru orang kepada wihdatu al-adyan (penyatuan agama). Inilah sikap tamyi’ terhadap Islam. Terkadang mereka mengajak untuk mempersatukan agama, terkadang dengan cara mengajak dialog antar agama.

Sikap kedua adalah sikap toleransi kebablasan yang seolah-olah menggambarkan bahwa al-wala dan al-bara’ itu berlaku untuk seluruh umat Islam, baik antara yang Sunni dengan bukan Sunni, sebab keseluruhannya mengaku sebagai Islam dan mengaku sebagai pengikut Muhammad, mak tiada beda antara Ahlu Sunnah dengan Ahlu Bid’ah, antara Salafi dan Sufi, antara Ikhwanul Muslimin dan Hizbu at-Tahrir. Jenis tamyi’ dalam berdakwah seperti ini merupakan tamyi’ dalam berda’wah dan di dalam manhaj.

Adapun Mudarah yaitu metode taliful qulub (membujuk)orang-orang yang kita anggap mau masuk ke dalam Islam ataupun masuk ke dalam salafiyyah.

S. Bagaimana standar suatu permasalahkan dapat digolongkan ke dalam perkara bid’ah ataupun tidak?

J. (Salim Hilali) Bid’ah yaitu suatu perkara yang tidak memiliki dalil sedikitpun baik yang menyangkut asalnya maupun sifatnya(caranya). Segala perkara yang diada-adakan di dalam agama ini maka akan tertolak. semua bida’ah tetaplah dinggap bid’ah, baik dengan meninggalkan sesuatu dalam Islam dengan niat bertaqarrub kepada Allah ataupun bid’ah idofiyyah, yaitu perkara yang dasarnya disyariatkan namun sifatnya/caranya dibuat-buat.

Tetapi bukan setiap orang yang tergelincir ke dalam perbuatan bidah dihukumi sebagai Ahlu bid’ah. Seseorang dihukumi dengan ahlu bid’ah jika telah diberitahukan kepadanya tentang kebid’ahan perbuatannya , dinasehati dan diperingatkan namun dia tetap bersikeras dengan bid’ahnya. Orang seperti ini digolongkan ke dalam Ahlu bid’ah dan boleh ditahzir sebab tidak lagi memiliki karamah (harga diri sebagai muslim) .

Sehubungan dengan ini penanya bertanya tentang beberapa yayasan di antaranya tentang yayasan al-sofwah. Dalam hal ini aku tidak mengetahui yayasan ini, dia bertanya tentang Yayasan Al-Haramain dan Ihya at-Turast. Mengenai kedua yayasan ini yang kuketahui bahwa kedua yayasan ini yayasan Hizbiyyah dan Surururiyyah( harus ditahzir). dia juga bertanya tentang Syeikh Salih Munajjid, maka sepanjang pengetahuanku terhadap beberapa karya maupun muhadarahnya dia adalah seorang Hizbiyah dan Pemuka Sururiyyah. WABILLAHI AT-TAUFIQ.

S. Kita mengetahaui kebenaran dan keorisinilan dakwah salafiyyah, namun yang disayangkan datang pengkaburan dan kekacauan yang didalangi oleh orang-orang Sururi, yang kutanyakan adalah apa itu paham Sururi dan bagaimanaa kaedah dan prinsip mereka agar dapat diketahui dan kita dapat meghukumi seseorang dengan kaedah ini ?

J. (Musa Ibn Nasr) Sururiyyah adalah jamaah Hizbiyyah yang muncul pada tahun belakangan ini, dia tidak diketahui kecuali seperempat abad belakangan ini, karena mereka selalu bersembunyi dibalik salafiyyah hingga sekarang .

Sebenarnya mereka memiliki kaedah dasar dari Ikhwanul muslimin yang selalu berdiri di atas sirriyah (gerakan bawah tanah ); membangkitkan massa untuk gerakan politik dengan mempengaruhi mereka; mencemoohkan dan meremehkan ulama Rabbani seperti Syeikh Albani, ibn Baaz, dan Usaimin. Mereka mengganggap mereka sebagai Ulama yang hanya tahu perkara-perkara haid dan nifas.

Gerakan ini muncul ke permukaan dalam bentuk kritikan yang menyakitkan setelah perang teluk kedua. Mereka menggangap para ulama kita tidak paham dengan waqi (realita umat), pemahaman mereka sebatas hukum haid dan nifas. Mereka telah meniru para Ahli Bid’ah klasik yang mengatakan: ’Bahwa fikih Malik, Auza’i dan ulama-ulama lain tidak lepas dari sarung wanita”. Alangkah besarnya perkataan yang keluar dari mulut mereka, dan sesungguhnya mereka hanyalah mengatakan kedustaan. Yang tidak menghormati alim-ulama kami maka sebenarnya meeka adalah penyeru kepada fitnah. Orang-orang yang mencela Syeikh Albani, ibn Baaz dan Usaimin pada zaman ini adalah pembuat fitnah yang berada di jurang kebinasaan.

Mereka ingin memalingkan perhatian manusia kepada diri mereka dan menghalangi manusia dari para Ulama Rabbani. Mereka mengaku bermanhaj salaf walaupun sebenarnya mereka adalah Ikhwan, bahkan lebih bahaya dari Ikhwan sendiri sebab mereka selalu bersembunyi di balik salafiyyah. Semoga Allah menunjuki kita dan mereka ke jalan salaf yang bersih yaitu jalan yang dirintis rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam dan para sahabat dan tabiin.

S. Orang yang menjadi khatib jumat, apakah harus menjadi imam solat?

J. (Syeik Masyhur Salman) Sholat dan Khutbah jumat adalah Ibadah, dalam hal ini petunjuk yang diajarkan Rasulullah bahwa siapa yang menjadi Imam dialah yang menjadi khatib, jika tidak maka perbuatan tersebut adalah menyelisihi Sunnah. Namun jika yang menjadi Imam bukan khatib solat tetap sah walaupun tidak sesuai dengan sunnah. Ulama yang membahas perkara ini di antaranya Imam Syaukani dalam karyanya “ As-Saiful Jarrad.

S. Apakah boleh mengakhirkan Sholat karena alasan mengikuti durus (ceramah pelajaran ) dalam acara tertentu dengan mengutip sebuah kaedah “al-I’mal muqaddamun ‘ala ihmal” (sesuatu yang penting harus didahulukuan dari yang remeh).

J. (Masyhur Salman) Wajib mengerjakan seluruh ibadat dan Allah telah menetapkan untuk kalian waktu-waktu tertentu, maka solatlah pada waktu solat datang. Sebenarnya tidak ada yang bertentangan, sebab prinsipnya adalah upaya untuk menggabungkan antara semua kebajikan dengan tidak mempertentangkan satu sama lainnya.

S. Berapa ketentuan zakat fitrah dan bolehkah mengeluarkan dalam bentuk nilai benda tersebut(Uang) ?

J. (Masyhur Salman) Mayoritas ulama berpendapat tentag wajibnya mengeluarkan zakat fitrah dalam bentuk makanan, bahkan Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda: ”Sesungguhnya zakat adalah makanan orang-orang miskin”. Oleh karena itu tidak disyariatkan membayar zakat fitrah dalam bentuk nilai kecuali pendapat Abu Hanifah.

Yang benar menurutku adalah pendapat mayoritas ulama, yaitu tidak sah membayar zakat dalam bentuk nilai uang, kecuali dalam dua hal, yaitu: pertama: Jika orang yang mengeluarkan zakat membayarkan uangnya kepada seseorang yang diwakilkan, dan kelak orang tersebut yang membeli makanan untuk dibayar zakat, kedua: jika tidak punya waktu lagi untuk membayar dengan bentuk makanan, dan harus dibayarkan kepada fakir miskin yang ada di hadapannya, misalnya dia baru teringat ketika sholat ied akan dimulai, jika tidak dibayar dalam bentuk uang maka dia tidak melaksanakan kewajiban zakat, maka pada kondisi yang begitu darurat ini diperboehkan membayar dengan uang.

Adapun ukurannya, yaitu makanan pokok suatu daerah yang dapat disimpan lama seukuran satu sha (empat mud/ kedua telapak tangan). adapun jenis makanan alburru (gandum) menurut Ibn Khuzaimah dibolehkan dengan setengah Sha‘.

Dalam membayar zakat fitrah ini diperbolehkan melebihkan timbangan dari yang ditentukan dan ini tidak termasuk bid’ah. Sebab kelebihan termasuk hal-hal yang diperbolehkan dan tidak menyatu sebagaimana yang di tahqiq oleh Ibn Rajab. Satu Sho bukan wazn tetapi kail sebanyak empat mud, satu mud yaitu ukuran telapak tangan seorang lelaki dewasa yang pertengahan (tidak terlalu besar ataupun terlalu kecil. Pent)

S. kami mengharapkan anda menerangkan tentang hukum melagukan azan dan memerdukan suara?

J. (Masyhur Salman) Azan adalah Ibadah dan ketaatan yang dituntut agar muazzin melafazkannya dengan tarassul (berlahan-lahan), sebagaimana Rasulullah memilih Abu Mahzurah sebagai muazzin dan memerintahkan seseorang yaitu Abdullah Ibn Zaid untuk mengajarinya azan. Dalam azan dibutuhkan at-tarassul dengan batasan syariat dan tidak boleh berlebihan memanjangkannya. Hal ini juga berlaku dalam membaca alquran. Adapun lagu-lagu yang berlebih-lebihan tidak disyariatkan. Hukum-hukum bacaan yang telah ada adalah standar dalam hal tilawah ditambahi dengan tarassul ketika mengumandangkan azan.

Adapun hukum-hukum fikih yang dibicarakan ulama dalam hal wajibnya mendatangi jamaah sholat ketika mendengar azan maksudnya ialah azan yang dikumandangkan oleh seorang muazzin yang bersuara tinggi. Wallahu a’lam.

S. penanya bertanya tentang sebuah hadis yang berbunyi ”iza marartum biriyadi al-jannah fa irta’u” tentang kesahihannya. Karena sebagian ulama ada yang mensahihkannya dan sebagian lainnya melemahkannya karena adanya ittirab (perbedaan dalam lafaz-lafaz) dan pertentangan dalam lafaznya, sembari menyebutkan bahwa Albani melemahkannya dalam al-jami .

J. (Syeikh Ali Hasan) Jawabnya sebagai berikut, pertama, syeikh Albani di akhir dari dua pendapatnya menyatakan bahwa hadis ini hasan tetapi di bagian pertama saja yaitu hadis yang berbunyi: ”iza marartum biriyadi al-jannah fa irta’u.” inilah lafaz yang dinyatakannya hasan, dan ini sangat sesuai dengan kaedah, adapun tambahannya banyak terdapat di dalamnya ittirab, yaitu lafaz-lafaz seperti qafilatu az-zikr, al-masajid, dan almajalis. Kedua, perkataan orang bahwa Albani menghasankan hadis ini sebenarnya wajib dibawa kepada perkataan albani yang terakhir, bukan maksudnya bahwa Albani menghasankannya secara mutlak. Dengan ini kekeliruan sebenarnya terletak pada orang yang melemahkannya, karena melihat berbagai macam perbedaan dalam lafaznya, yaitu dalam hadis riyadul jannah bukan pada hadis yang asli yaitu ”iza marartum biriyadi al-jannah fa irta’u” karena dalam lafaz ini hampir seluruh riwayat menyebutkan lafaz yang sama. Jadi jka orang yang melemahkan riwayat ini karena menurutnya bertentangan satu sama lainnya pada dasarnya bukan pada seluruh lafaz hadis tetapi pada sebagain lafaz saja yang terdapat dalam dua atau tiga riwayat saja adapun keseluruhan riwayat yang berjumlah enam riwayat bertemu dalam kelemahan yang ringan dan saling mengkuatkan satu sama lainnya.

S. Penanya bertanya tentang lafaz takbir ketika hari raya, Allahu akbar 3x la ilaha illallah Allahu akbar 2x walillahi al-hamd, apakah astar tentang hal ini sahih?

J (Ali Hasan) inilah Atsar yang paling sahih yang berasal dari para sahabat ketika bertakbir, inilah yang paling benar dari Ibn Mas’ud dan para sahabat dan pengikutnya yang diwarisi umat Islam dari generasi kegenerasi, adapun melagu-lagukannya dan memanjang-manjangkannya secara berlebihan atau mengkhususkannya pada waktu dan tempat tertentu keseluruhan hal ini adalah bid’ah. Wallhu alhadi ila sawai as-sabil

S. Tahkim kepada undang undang buatan manusia adalah syirik Akbar menurut ijma ulama. Bagaimana pendapat anda dengan sikap yang dinyatakan orang-orang bahwa mereka akan menentang hal ini dan akan duduk bersama mereka dalam hal menghalalkan ataupun mengharamkan sementara mereka orang Islam dan sebagian orang kafir.

J. (salim Hilali) Pertanyaan ini mukaddimahnya keliru. Sebab pernyataan bahwa “tahkim kepada undang-undang buatan manusia adalah syirik akbar berdasarkan ijma ulama“ adalah salah. Sebab meninggalkan hukum yang telah diturunkan Allah atau berhukum dengan undang-undang buatan manusia akan menjadi kufur akbar harus dengan syarat-syarat tertentu, di antaranya:

Bahwa penguasa berhukum dengan hal-hal yang bertentangan dengan hukum Allah, sebab banyak juga undang-undang buatan manusia yang tidak bertentangan dengan syaraiat Allah. Sebab kata-kata “undang-undang buatan manusia” harus dikaitkan dengan yang bertentangan dengan syariat. Undang-undang buatan manusia pada zaman ini memang hasil buatan mereka tetapi banyak yang tidak bertentangan dan sesuai dengan syariat, masih dalam cakupan kaedah Isalam dan merupakan masalih mursalah. Oleh karean itu para Ulama kita berusaha keras untuk mengkaitkan UU (undang-undang) ini dengan yang bertentangan dengan syariat ataupun hukum Allah dan ketetapan Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam

Tahkim UU buatan manusia menurut Ulama, terkadang bisa menjadi kufur Akbar, terkadang menjadi kufur Asghar, inilah dia ijma ummat dan yang berlandaskan dengan Atsar Ibn Abbas: ”Bukanlah kufur sebenarnya apa yang menjadi pendapat kalian sekarang ini, tetapi merupakan kufr duna kufr. Oleh karena itu seluruh ahli tafsir mengambil kata ini ketika menafsirkan ayat “Barang siapa yang tidak berhukum dengan apa yang Allah turunkan maka mereka adalah orang-orang kafir.” Kesimpulannya tidaklah seorang penguasa menjadi kafir kecuali jika menghalalkan untuk berhukum dengan selain yang Allah turunkan. Oleh karena itu sebenarnya isu-isu yang merusak seputar hal ini selalu digembar-gemborkan oleh orang-orang Sururi, yang beranggapan bahwa hukum dengan selain Yang Allah turunkan kafir dengan sendirinya –alangkah jelek yang mereka katakan— dan aku tidak pernah tahu ada sorang yang berilmu dan kommit dengan Sunnah berkata seperti mereka sebelumnya, dalam hal ini rujukan mereka adalah Sayyid Qutb saja.

Intinya kita harus membeda-bedakah hukum, jika seorang Penguasa menghalalkan sesuatu selain yang diturunkan Allah, jika dia mengganggap baik hukum selain hukum Allah; jika dia menyatakan bahwa dia bebas memilih antara hukum Islam dan bukan hukum Islam; jika dia mengatakan bahwa hukum Islam tidak wajib diterapkannya, maka hal ini yang menjadi Kufur akbar, ditambah dengan tahaqquq as-syurut wa imtina’ul mawani’ (persyaratan tertentu yang lengkap padanya dan tidak adanya lagi hal-hal yang menghalangi).

Adapun jika dia menerapkan hukum ini karena mengikuti hawa nafsu, karena kepentingan tertentu atau karena disuap maka hal ini kufur duna kufr yaitu jatuh pada kategori kufur asghar tidak mengeluarkannya dari agama Islam. Ini penting diketahui dalam masalah ini

Adapun duduk beserta mereka, baik yang jatuh kepada kufur akbar maupun kufur asghar dalam hal ini, maka hukumnya terlarang kecuali bagi para duat mukhlisin yang menasehati mereka untuk ruju’ kepada kitab Allah dan Sunnah Rasulnya. Karena hal ini adalah istihza mengolok-olok ayat Allah maka jangalah kita duduk bersama mereka atau bergabung dengan mereka. Sesungguhnya Quraisy memiliki parlemen yaitu Darun Nadwah, tetapi apakah pernah Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam masuk dan turut serta dengan mereka? Kecuali bagi da’i yang mukhlis dan mau menyeru mereka dan melarang mereka. wabillahi at-taufiq.

S. Apa hukum meyebarkan dakwah Salafiyyah dengan menjalin kerja sama terhadap kelompok ahli bid’ah?

J. (Syeikh Musa Ibn Nasr) Sikap Ahlu Sunnah terhadap Ahlu bid’ah adalah mentahzir, mengingkari, membantah dan tidak wala (loyal) kepada mereka apalagi jika Bid’ah yang mereka perbuat bi’ah dalam aqidah yang menjerumuskannya kepada kekufuran dan kemusyrikan.

Jika bid’ah ini bid’ah dalam manhaj, seorang muslim slafi harus mengamalkan ayat yang berbunyai: ”Orang-orang yang tidak menyaksikan kebohongan” dan firmanNya: ”Jika mereka mendengar perkataan yang sia-sia mereka berpaling darinya, mereka berkata: ”amal kami untuk kami dan amal kalian untuk kalian dan kami tidak mau kepada orang-orang yang jahil”. Jika dia bertemu seorang pelaku bid’ah dia akan mengingkarinya dan mengajarkan kepadanya tentang kekeliruannya, jika dia mau diperbaiki maka alhamdulillah inilah sebenarnya yang diinginkannya, dan jika ternyata tetap pada bidahnya maka wajib ditinggalkan, diboikot dan tidak boleh berwala kepadanya, tetapi wajib untuk bara kepadanya. Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda: Sekokoh-kokohnya ikatan keimanan adalah cinta karena Allah dan benci karena Allah “.

Namun jika ternyata yang berbuat bid’ah ini seorang muslim yang soleh dan selalu untuk ittiba (mengikuti Sunnah) maka jangan dikatakan dia ahlu bid’ah, karena bukan semua orang yang tergelincir ke dalam perbuatan bid’ah digolongkan kepada Ahlu bid’ah, sebab prilaku ini bukanlah menjadi ciri dirinya kecuali jika memang perbuatan ini menjadi syiarnya kelak; menjadi bagian dari prilakunya yang dipertahankan dan dibelanya, bahkan sampai kepada tingkat wala dan baro’-nya di atas perbuatan bid’ah tersebut; sombong dan tidak menerima nasehat; menjadikan bid’ahnya seolah-olah bagian dari agama, dalam kondisi seperti ini dia dihukumi sebagai ahlu bid’ah dan wajib ditinggalkan bahkan ditahzir. Wallahu A’alam

S. Perkataan seseorang –yang telah beristri— kepada saudaranya, sahabatnya ataupun, bapaknya: ”Aku akan menceraikan istriku”. Perkataan ini diucapkan dihadapan istrinya dalam kondisi sangat marah. Apakah perkataan ini dianggap talaq sebenarnya dan berlaku ?,

J. (Syeikh Masyhur Salman) Ungkapan yang diucapkannya ini —baik dalam kondisi stabil ataupun marah— tidak masuk ke dalam kategori talak. Sebab ungkapannya “akan kuceraikan” masih dalam bentuk fi’il mustaqbal (kata kerja untuk waktu yang akan datang). Oleh karena itu tidak ada konsekwensi dari ucapannya itu selama dia tidak mentalaknya dengan sebenarnya.

S. Dalam kasus Salim —maula abi Huzaifahyang Disusukan oleh istri Abu Huzaifah (agar menjadi mahram hingga dapat keluar masuk rumahnya dengan bebas, sementara dia telah menginjak dewasa.pent) apakah kasus ini berlaku untuk Salim secara khusus atau dapat berlaku untuk seluruh orang? Jika seseorang memiliki anak angkat yang berumur sepuluh tahun memperlakukan anak tersebut sebagaimana kasus Salim, apakah hubungan kemahraman antara mereka merlaku juga?

Bolehkah melaksanakan penyembelihan korban dengan niat dihadiahkan pahalanya kepada orang yang telah meninggal?

J. (Syeikh Masyhur Salman) sebelum menjawab yang pertama aku akan menjawab yang kedua. Seseorang yang telah meninggal tidak boleh disembelih untuknya Qurban (dengan niat agar disampaikan pahala untuknya). Sebab tidak ada dalil kuat yang mensyariatkannya. Intinya sembelihan Qurban boleh diatasnamakan untuk keluarga yang masih hidup maupun yang telah meninggal secara umum, bukan dikhususkan hanya untuk seseorang yang telah meninggal.

Adapun kasus Salim –Maula Abi Huzaifah— pendapat yang paling rajih/benar adalah qadiyah ‘ain (kasus yang berlaku khusus untuknya).

Perkara qodiyah ‘a’yaan –yaitu kasus yang terjadi dengan orang-orang tertentu apakah juga dapat diberlakukan untuk umum atau tidak— merupakan perkara khilafiyyah yang sengit di kalangan ulama. Perkataan Ulama Usul almuhaqqiqin dalam hal ini bahwa kasus yang berlaku terhadap orang tertentu diberlakukan juga untuk umum jika memiliki kondisi yang sama. Maka jika terdapat seseorang anak berumur sepuluh tahun yang terlantar dan disia-siakan —alangkah banyaknya kondisi anak-anak kaum muslimin yang seperti ini— boleh bagi seorang wanita menyusuinya agar menjadi mahram baginya .

S. Apakah hukum jual beli barang-barang yang terdapat di dalamnya gambar-gambar wanita ataupun binatang seperti sabun contohnya, jika gambar-gambarnya dicabut orang tidak akan membelinya ?

Apa hukum menerima hadiah-hadiah yang didapatkan dari perusahaan-perusahaan pembuat minuman keras, ataupun perusahaan yang menjual barang-barang diharamkan, apakah hadiah-hadiah ini dibakar, dikubur, atau bagaimana?

J. (Syeikh Masyhur Salman) pada dasarnya engkau tidak boleh bekerja sama dengan perusahaan-persusahaan seperti ini dan tidak boleh menerima hadiah-hadiah dari mereka. Bentuk pengingkaranmu terhadap perusahaan ini, yaitu dengan menolak-hadiah-hadiah dari mereka, apalagi hadiah memiliki pengaruh khusus bagi hati dan membuat seseorang condong kepada yang memberikannya. jika terjadi hal-hal lain, jika Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam mengharamkan mengakui keberadaan pelaku-pelaku perbuatan haram namun beliau juga melarang pebuatan sia-sia, oleh karena itu jika hadiah tersebut telah diterima maka wajib disedekahkan, sebagaimana dalam kaedah “ Harta yang haram tempatnya dikeluarkan dalam bentuk sedekah.”

Adapun hukum menjual barang-barang yang bergambar, kita memiliki dua hal: pertama al-aslu (hukum asal jual beli) kedua az-zahir (yang nampak). Masalah yang wajib diketahui orang-orang sekarang adalah masalah al-aslu dan az-zahir, mana yang diutamakan jika keduanya bertentangan? Jual beli sabun contohnya, hukum asalnya adalah halal, secara zahirnya dia haram karena ada gambarnya. Sebenarnya gambar independen/terpisah dari sabun, sebab ketika anda membeli sebenarnya yang anda ingin beli adalah sabunnya bukan gambarnya, dan gambarnya akan dibuang dan dikoyak, oleh karena itu tidak ada masalah untuk membelinya dikembalikan kepada hukum asalnya.

S. apa hukum memakai bantolun/ celana panjang dalam solat dan apa hukum tidak memakai tutup kepala/kopiah?

J. (Syeikh Masyhur Salman) memakai bantolun hukum asalnya adalah makruh. Memakai bantolun bisa dihukumi makruh ataupun haram. Jika ia sempit dan menampakkan aurat maka hukumnya haram. Dalam sebuah sanad yang sahih Umar Ibn Khattab pernah menulis sebuah surat panjang kepada gubernurnya di Kufah —Utbah ibn al-farqod– yang diakhirnya dia mengatakan: ”Hendaklah kalian memakai pakaian bapak kalian Ibrahim.” Seorang muslim Hendaklah dituntut untuk tidak menyerupai orang musyrik. Adapun hukum solatnya tetap sah walaupun makruh. Aku telah terangkan permasalahahan ini dan fatwa para ulama mengenai ini dalam bukuku “al-Qaulu al-mubin fi akhta’i al-Musallin”.

S. Apa hukum tranfusi darah/donor darah kepada orang kafir atau menerima donor darah dari orang kafir?

J. (Syeikh Masyhur Salman) Hukum fikih sangat terkait dengan praktek/amal bukan dengan zat. Sedekah kepada orang kafir diperbolehkan, berbuat kebajikan kepada orang kafir juga disyariatkan. Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam berkata: ”Pada setiap yang memiliki nyawa dan hati terdapat ganjaran pahala (dalam hal berbuat kebajikan).” Sebagaimana dalam sebuah hadis seorang wanta pelacur pada masa bani Israel masuk surga karena memberi minum seekor anjing. Oleh karena itu boleh saja hukumnya donor darah kepada orang-kafir, terlebih lagi jika ada hubungan kerabat seperti terhadap orang tua, mahramnya dan yang lainnya. dengan demikian hukum-hukum syariat selalau terkait dengan af’al bukan dengan zawat. Di dalam mendefenisiikan hukum ulama mengungkapkan bahwa hukum adalah khitab/seruan Allah yang berkaitan dengan pebuatan al-mukhatabin (orang-orang yang diseru). wallahu a’lam.

S. Apa pendapat anda mengenai buku At-Tawassut wa al-Iqtisad karya Syeikh ‘Alawi ibn Abdul Qadir as-Saqqaf dan kenapa dia tidak menyebutkan perkataan syeikh al-Albani dalam masalah iman dan at-takfir.

J. (Syeikh Ali Hasan) Pendapatku mengenai buku ini sebagai berikut: kerangka berfikir yang dibanggun pengarang dalam bukunya ini adalah kerangka berfikir yang benar. Judul buku tersebut secara sempurna juga selaras dengan isinya yang telah kusebutkan tadi. Sempurnanya buku ini berjudul ”At-Tawassut wa al-Iqtisad bibayani anna al-Kuara yakunu bi al-Qauli wa-Al-‘Amali wa al-‘Itiqad” (jalan pertengahan dan penjelasan mengenai kekufuran harus dengan perkataan perbuatan dan itikad.pent).. Ungkapan ini sangat benar sekali.

Dari segi materi yang disajikan penulis kebanyakannya adalah benar walaupun terdapat sedikit kekeliruan yang tidak dapat dianggap sepele. Dari segi atsarnya terdapat hal-hal yang menyelisihi kebenaran, dan aku telah menyebutkan sebagian komentarku mengenai buku ini dalam tulisanku yan berjudul “at-Tarif wa at-Tanbi’ah fi at-ta’silat al-imam al-allamah al-Albani fi masalati al-iman wa arradi ‘ala al-murjiah”.

Di antara beberapa kekeliruannya, yaitu tidak tepatnya dia mendudukkan istilah kufur ‘amal. Pembagian kufur kepada kufr ‘amali dan ‘itiqadi memiliki dua makna, salah satu dari makna kufr ‘amali di dalam pembagian ini adalah kufr asgar. Pengarang tidak tepat dalam memahami hal ini sehingga dia beranggapan bahwa kata kufr a’mal harus selalu bermakna kufr asgar dan ini keliru. Sebab kufr ‘amali terkadang menjadi kufr akbar. Dari sini pangkalnya beberapa ungkapannya yang mengkritik Al-Albani dan manhajnya di dalam permasalahan ini.

Di antara kekeliruannya yang lain, yaitu ketika dia tidak mengikut sertakan perkatan penting dari Lajnah Daimah dalam masalah kafirnya orang yang meninggalkan solat, hal ini mengeluarkan fatwa mereka dari yang sebenarnya, dan menghapus tarjih mereka dalam permasalahan ini sebagaimana yang telah kusebutkan dalam risalahku at-Tanbi’ah.

Adapun pertanyaan penanya ”kenapa penulis tidak menyebutkan pendapat Imam al-Albani dalam masalah ini” jawabannya ada dua kemungkinan, mungkin dia mengetahui pendapat syeikh al-Albani dalam permasalahan ini namun tidak menyebutkannya, atau karena dia memang tidak mengetahui pendapat al-bani dalam hal ini sama sekali, bagaimanapun juga kedua kemungkinan ini merupakakn kekeliruan besar yang tidak dapat dianggap remeh. Jika dia ternyata mengetahui pendapat Albani namun tidak menyebutkannya maka ini dianggap suatu pengkhianatan. Sebab Syeikh al-Albani adalah salah seorang ulama besar di zaman ini, kenapa dia tidak menyebutkan pendapat beliau dan meninggalkannya sementara dia menyebutkan berbagai pendapat orang-orang asy‘ariyyah, maturidiyyah dan pendapat mutakhirin yang masih jauh di bawah imam al-Albani baik dari segi keilmuwan dan aqidah?? bukankah ini suatu pengkhianatan??.

Atau yang kedua bahwa penulis memang tidak mengetahui pendapat al-Albani, dalam hal ini kalau tidak mengetahui pendapatnya bagaimana bisa mengkritiknya? Maka kami katakan sebagaimana perkataan syair ”fa bi ussyuqi fadruji wa min daairatil ilmi fakhruji” ini merupakan perbuatan yang keliru dari orang-orang yang seharusnya takut kepada Rabbnya untuk menghabisi tintanya dalam rangka mencela para ulama dan mengkritik aqidah mereka. Inilah kesimpulannya wasallahu wassalam a’la nabiyyina Muhammad.

S. bagaiamana salaf memulai dakwahnya, apakah dimulai dengan tauhid atau dimulai dengan menjelaskan kepada para mad’u kelompok-kelompok yang sesat, walaupun orang yan didakwahi tersebut sebenarnya belum paham tauhid?

J. (Syeikh Salim al-Hilali) Penjelasan mengenai kelompok-kelompok yang menyimpang dan sesat pada hakikatnya adalah dakwah kepada tauhid, sebab maksud dari dakwah tauhid sendiri adalah menyeru kepada tauhid dan meninggalkan syirik, dan sesuatu tidak akan diketahui kecuali dengan mengetahui lawannya; dakwah untuk mengikuti jalan orang-orang beriman termasuk di dalamnya dakwah untuk meninggalkankan jalan orang-orang yang mujrim; dakwah kepada Sunnah mencakup dakwah menjauhi bid’ah; amar ma’ruf harus sejalan dengan nahi mungkar. Oleh karena itu dakwah dengan menjelaskan dan mentahzir manusia dari kelompok-kelompok yang menyimpang; yang memalingkan orang dari dakwah kepada tauhid dan manhaj yang benar merupakan essensi dari dakwah kepada tauhid. Penjelasan mengenai bahayanya dampak kelompok Jahmiyyah, Murjiah dan Khawarij dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan berbagai nama-nama yang diperbaharui di zaman ini adalah inti dari dakwah kepada tauhid.

Namun kesalahan fatal yang terjadi dalam hal ini terdapat dalam dua poin: pertama kesalahan dengan melebihkan dosis dakwah kepada satu sisi saja dengan meninggalkan sisi lainnya tanpa ada kebutuhan. Contohnya seluruh materi dakwah yang disampaikan hanya mengungkap kelompok-kelompok sesat semata, tidak pernah disentuh materi mengenai iman, mengenai taqdir, mengeani masalah sifat dan permasalahan lainnya. Oleh karena itu jangan sampai kita lupakan masalah tauhid dan bagian–bagiannya. Adapun mengangkat satu sisi dalam berdakwah dan meninggalkan sisi lainnya akan berdampak negatif dan berbahaya bagi orang-orang yang diseru.

Adapun kesalahan kedua atau bahaya kedua yaitu: tampilnya orang-orang yang menerangkan dan mentahzir kelompok-kelompok maupun jamaah yang sesat sementara dia sendiri tidak memahami manhaj mereka dan tidak paham manhaj salaf yang sebenarnya. Orang seperti ini memiliki peluang besar untuk memasukkan orang-orang yang benar —ahlu al-haq— ke dalam gerombolan orang-orang yang sesat, tanpa basirah/ilmu dan tanpa ada rasa takut kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Intinya orang yang berkompeten dalam masalah ini hendaklah dari kalangan ulama ar-rasikhin ar-rabbaniyyin yang paham memposisikan sisi mana yang lebih dibutuhkan orang-orang yang didakwahinya. Sebagai contoh jika penyembahan kepada kuburan tersebar di negeri itu maka hendaklah dia memprioritaskan dakwah kepada tauhid dengan segala bagiannya, dengan mengkonsentrasikan dakwahnya mengenai bahayanya ibadah kepada kubur, jika kekurangan di dalam para mad’u-nya mengenai masalah sifat maka dai harus benar-benar mendahulukan dakwahnya kepada masalah sifat.

S. Benarkah ungkapan” Kebenaran yang tidak teroganisir akan dikalahkan oleh kebatilan yang terorganisir rapi” bersumber dari Ali ibn Abi Talib? Jika benar apa maksudnya? dan bolehkah ini dijadikan sebagai dasar membuat tanzim ataupun jamaah?

J. (Syeih Salim Hilali) Ungkapan ini tidak benar dari Ali, sebab dasarnya ini merupakan ungkapan yang dibuat oleh orang-orang haraki yang masih baru. Agama kita telah tersusun apik tanpa harus ditambah dengan membuat tanzim-tanzim; agama kita telah baku dalam bingkainya tanpa harus membuat bingkai baru; agama kita berdiri tegak di atas tanzim. Jika Islam kita terapkan dengan benar sebagaimana yang terjadi pada zaman Rasul, maka secara otomatis kita akan terorganisir rapi. Jika kita masih menyibukkan diri dengan membuat bingkai-bingkaidan tanzim-tanzim baru ; berwala dan bara di atas dasar ini, dan dengan membuat bai’at-bai’at bidah, hal-hal ini seluruhnya pada dasrnya bukanlah dari agam Allah sedikitpun. Sebab Kita telah tersusun dan terorganisir langsung dengan Islam, di bawah tanzim rabbani, tanzim Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam sebagai pelopornya. Kita tidak buruh kepada tanzim yang dibuat orang-orang haraki yang memecah belah umat dan mengadu domba antar duat yang menyeru ke jalan Allah.

S. Jika seorang Imam membaca ayat yang terdapat di dalamnya sajadah dan dia ingin sujud apakah dia harus takbir atau tidak ?

J. (Syeikh Musa Ibn Nasr). Dalam hal ini Ibn Taimiyyah menyebutkan tiga pendapat, pertama Dia harus bertakbir ketika akan sujud dan ketika bangkit dari sujud. Pendapat kedua dia harus bertakbir ketika akan sujud dan tidak perlu bertakbir ketika bangkit dari sujud. Pendapat ketiga dia tidak bertakbir, baik ketika akan sujud ataupun ketika bangkit dari sujud. Pendapat terakhir inilah kelihatannya yang dipegang dan dikuatkan oleh syeikh kami (Al-Albani). Namun aku berpendapat bahwa hal ini disyaratkan pada kondisi makmun tidak terhalang dari imam ataupun tidak berada jauh dari tempat imam sehingga mereka dapat melihat imam turun sujud, sebaliknya jika terdapat makmum wanita di ingkat dua atau para makmum berada jauh dari imam dan mereka terhalang dengan tembok ataupun kain pembatas untuk melihatnya turun sujud, maka imam harus bertakbir. Menurutku –wallahu a’lam– bahwa imam boleh bertakbir ketika sujud sambil membaca bacaan dengan sedikit memperdengarkannya kepada para makmun agar mereka mengikutinya .

S. Sebagaimana diketahui bahwa jihad itu harus dipimpin oleh seorang imam, bagaimana jika jihad dipimpin oleh seorang pemimpin kafir?

J. (Seikh Slim Hilali) Haram berjihad di bawah bendera pemimpin kafir. Jihad dibagi para ulama menjadi dua bagian, pertama jihad tholab (menyerang), kedua: jihad daf’u (mempertahankan). Dalam jihad tholab diperlukan serang imam atau yang mewakilinya, sebaliknya jihad daf’i (mempertahankan) tidak memerlukan seorang imam. Dalam jihad tholab syarat imam haruslah seorang muslim, adapun dalam jihad daf’i maka hal ini tidak disyaratkan.

S. penanya bertanya tentang hukum ‘amaliyah istisyhadiyah (aksi mati syahid/bunuh diri) yang banyak terjadi di Palestina dan negeri-negeri Islam lainnya, berdalil dengan kisah ibn umi maktum dan kisah pemuda yang belajar dari seorang pendeta. Dalam hal ini salah seorang murid syeikh Said Ramadhan al-Buthi pernah menulis .

J. (Syeikh Salim Hilalli) Adapun tentang amaliayah istisyhadiyah (aksi mati syahid) maka jawabannya ada pada pertanyaan sendiri, mungkin penanya bermaksud tentang hukum al-mughamarah bi an-nafs (bertempur dengan mempertaruhkan jiwa. pent), al-mughamarah ini ada beberapa macam.

Sebelumnya penamaannya dengan amaliayah istisyhadiyah (aksi mati syahid) atau amaliyah intihariyyah(aksi bunuh diri) keduanya adalah keliru, sebab jika kita namakan dengan istilah ini maka kita mendapatkan jawabannya dari makna soal sendiri tanpa harus diterangkan lebih rinci lagi.

Para ulama membahas hal ini dengan istilah hukum al-mughamarah bi an-nafsi. Seluruh dalil-dalil yang ada mengenai masalah ini, dan pertanyaan yang ditanyakan penanya ini tidak mungkin tuntas kecuali dengan penjelasan yang rinci, namun saat ini tidak tepat untuk menerangkannya secara mendetail. Seluruh aksi-aksi ini akan membuat musuh terbunuh, tetapi bukanlah membunuh musuh seseorang harus turut pula membunuh dirinya —perbedaan ini harus diperhatikan—, kedua: kaum muslimin membolehkan membunuh orang Islam yang digunakan sebagai perisai oleh orang-orang kafir. Menurut ulama terdapat suatu kaedah, yaitu ”Membunuh orang lain lebih besar di sisi Allah daripada membunuh diri sendiri.” Jika boleh membunuh orang lain yang digunakan sebagai perisai oleh orang kafir karena adanya maslahat yang mu’tabarah maka boleh juga bagi seseorang untuk maju berjihad walaupun harus membunuh dirinya, namun dengan beberapa syarat tertentu; ketentuan-ketentuan ini pada masa sekarang kebanyakan hanyalah bersifat pendapat/ijtihad. Aku telah menulis mengenai masalah ini sebuah buku dengan pembahasan yang panjang –buku ini sedang dicetak– dan buku ini bisa dibaca di internet dalam situs markaz imam al-Albani, barangsiapa yang mau perinciannya silahkan merujuk ke sana, dan masalah ini pernah juga ditulis di majalah al-asholah.

Ringkasan dari permasalahan ini —walaupun permasalahan ini banyak ditulis oleh ulama-ulama kontemporer sekarang— namun yang jelas permasalahan ini benar-benar menuntut ekstra lebih teliti dan tidak tergesa-gesa dengan melihat kepada nusus syairah, maqasid syariah, qowaid syariah dan mutlak membutuhkan seorang penulis yang dapat menulis dengan haq dan adil.

Pendapat yang kupilih setelah kuteliti jauh dan inilah pendapat Syeikh al-Albani bahwa aksi-aksi ini boleh dilakukan dengan beberapa syarat, di antara syarat yang terpenting adalah terwujudnya kemaslahatan besar, aksi ini dalam dunia militer biasa dilakukan walaupun mereka sepakat bahwa aksi ini tidak akan menghabisi musuh ataupun menghancurkan benteng-benteng musuh. Maka aksi seperti ini diperbolehkan dalam kondisi darurat ketika tidak menemukan jalan lain dengan persiapan dan perhitungan yang matang. Hal ini dalam dunia militer dikenal dengan perang urat saraf guna melemahkan mental lawan, sebagai bagian dari taktik perang. Maka bagi siapa yang ingin melaksanakan aksi ini, wajib baginya untuk memperbaiki hubungannya dengan Allah terlebih dahulu dan telah bertanya terlebih dahulu. Mari kita bermohon kepada Allah agar Dia menerima amalan orang-orang yang berbuat aksi-aksi seperti ini. Adapun urusan mereka setelah meninggal sepenuhnya diserahkan kepada Allah, kita tidak boleh memastikan mereka masuk surga walaupun kita terus berdoa untuk mereka. NAMUN YANG KUYAKINI BAHWA KEWAJIBAN SEKARANG INI BUKAN BERBUAT AKSI-AKSI SEPERTI INI. Wallahu a’lam.

S. Aku membaca sebuah buku yang berjudul “Raf’ul la’imah ‘an fatwa lajnah ad-daimah karya Syeikh Muhammad Ibn Salim ad-Dausari, apa komentar anda tentang buku ini dan penulisnya? Apa nasehat anda kepada kami—penuntut ilmu– dalam menyikapi fitnah irja’ yang membuat goncang pemikiran ?

J. (Syeikh Ali Hasan) buku ini penuh dengan kebatilan dari alif-nya hingga ya-nya, penuh kebatilan dari segi isinya dan penukilan-penukilan yang terdapat dalamnya, batil dari segi alur pikirnya. Adapun rincian bantahan ini da dalam bukuku yang hampir selesai dicetak yang kuberi judul ”at-Tanbihat al-mutawaimahfi nusrati al-ajwibati al-mutalaimah fi ar-raddi ‘ala raf’i al-laimah” Dalam buku ini kuterangkan dengan rinci berbagai macam tahrif/ penyimpangan yang telah ditulis oleh penulis yang jahil ini, baik dalam bentuk ucapan-ucapan maupun penukilan-penukilannya setelah itu aku membantah berbagai macam bantahannya yang sebenarnya sedikitpun tidak memiliki bobot. Semoga ikhwan mau sedikit bersabar berhubung waktu yang tidak memungkinkan terpaksa kuterangkan secara sangat global.

Adapun NASEHATKU kepada penuntut ilmu dalam menyikapi fitnah tuduhan murjiah (terhadap Syeikh al-Albani.pent) belakangan ini yang membingungkan pikiran, sebenarnya sangatlah sederhana. Pertama bahwa bantahan-bantahan kami dan bantahan dari ikhwan kami (ulama Jazirah.pent) sangat kuat sekali dan seluruhnya berdiri di atas kaedah dasar keilmuan yang sangat tuntas. Kami para penuntut Ilmu di Jordan yang berada di Markaz Imam al-Albani pernah menulis sebuah risalah yang kami beri judul ”Mujmal Masail iman al-‘ilmiyyah fi Usul aqidah as-Salafiyyah”. Kami telah terangkan masalah ini –yaitu oleh Syeikh Salim Hilali— pada acara Daurah tahun lalu yang bertempat di Ma’had ini (al-Irsyad-Surabaya). Semoga Allah memberikan berkah kepada kalian dalam ilmu dan ijtihad kalian.

Adapun kedua aku bertanya kepada orang-orang yang selalu berbicara mengenai tuduhan murjiah ini dan hendaknya kalain juga bertanya kepada mereka, Apa sih sebenarnya makna dari murjiah itu? Dan apa kritikan kalian terhadap Syeikh al-Albani dan para Muridnya mengenai hal tersebut? Aku memastikan bahwa mereka pasti di antara dua jawaban. Pertama mereka pasti akan mengatakan tidak tahu, dan hal ini pernah terjadi di negeri kami (Jordan). Seseorang mengatakan dengan lantangnya ”Al-Albani Murjiah…al-Albani Murjiah” lantas seseorang bertanya kepadanya: Apa maksudnya al-Albani Murjiah?? dia menjawab: ”Aku tidak tahu apa artinya yang penting al-Albani Murjiah. kedua dia akan menjawab dalam hal ini ada dua pendapat, pendapat pertama begini dan kedua begini yang berdasarkan kejahilan atau mencampuradukkan permasalahan atau berkata dusta. Atau perkataan yang diterangkan oleh orang setelahnya yang lebih fasih dan lebih jelas daripada perkataan orang yang pertama. Keadilan dan kebenaran juga yang akhirnya memutuskan agar perkataan yang lebih jelas dan lebih fasih mengadili perkataan yang masih umum. Sampai di sini dahulu Salawat dan Salam atas Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam

S. Bolehkah bekerja sama dengan kelompok tertentu dalam perbuatan-perbuatan bid’ah dari segi manhaj dengan tujuan berdakwah?

J. (syeikh Salim Hilali) tidak boleh bekerja sama dengan ahli bid’ah dan ahlu al-ahwa dalam amalan-amalan mereka. Semoga Allah subhanahu wa ta’ala Mencukupkan kita dengan dakwah dan manhaj yang ada pada kita untuk tidak bergabung dengan mereka. Sebaliknya malah wajib bagi mereka untuk meninggalkan bid’ah dan penyimpangan mereka agar kembali kepada kebenarana yang asli. Demi Allah Yang tidak ada Tuhan selainNya betapa banyaknya harta orang-orang salafi yang diinfaqkan bukan pada tempatnya dan dipergunakan ahli bid’ah untuk kepentingan bid’ah mereka. Prinsipnya kita tidak butuh dengan manhaj maupun harta mereka, tetapi kita harus sadar dan paham dengan manhaj kita, paham bagaimana menyalurkan harta yang kita dapatkan dari para muhsinin salafiyyin untuk kepentingan dakwah salafiyah yang penuh berkah ini.

S. Ciri-ciri ahlu bidah adalah berpecah belah, apa nasehat anda kepada kami dalam menyikapi perpecahan yang ada di kalangan orang-orang yang initisab (mengaku.pent) sebagai salaf yang menimbulkan perpecah-belahan serta saling membenci ?

J. (Syeikh salim Hilali) Aku menggangap paling paham dengan salafi dan penyebaran dakwah salafiyyah, namun aku tidak melihat adanya perpecahan di kalangan mereka, sebaliknya malah aku melihat mereka saling mencintai, mengasihi, saling bertukar fikiran bantu-membantu.

Sebenarnya terdapat sekelompok orang —yang tidak ada memiliki rasa takut kepada Allah— yang berupaya untuk memecah-belah para ulama salaf degan menyebarkan berita-berita bohong dan mengarang kejadian-kejadian fiktif yang sebenarnya tidak ada; membesar-besarkan kesalahan; sibuk dengan qila wa qola dan mengadu domba.

Wajib bagai para da’i dan ulama salaf waspada terhadap kelompok-kelompok pembuat makar dan keji ini, yang mengingatkan aku tentang pemikiran yang dibawa Al-Haddadi sejak sepuluh tahun yang lalu yang menamakan kelompok mereka dengan As-Sunnah; memerangai ahli bid’ah dan sebagainya, ternyata mereka berupaya untuk mencela para ulama salaf yang terbaik. Mereka mencela Ibn Hajar, an-Nawawi bahkan hampir saja mereka mencela Syaikhul Islam dan Ibn al-Qayyim. Kini kelompok new-Haddadi ini muncul kembali dengan wajah baru, maka para ulama harus benar-benar waspada kepada kelompok yang zalim terhadap diri mereka, zalim terhadap para penyeru kepada dakwah salafiyyah.

Jangan sampai para da’i terlalu cepat menerima berita dari mereka tetapi hendaklah mengambil berita dari sumber yang benar dan mengecek (tahqiq) terlebih dahulu dari ikhwan mereka, bagaimana sebenarnya mauqif (sikap) mereka sebab aku yakin sebenarnya banyak orang-orang salaf yang salah memahami perkataan ikwan kita (masyakih dari Jordan. Pent) yang kuyakini benar, namun dianggap keliru karena kurangnya pemahaman terhadap pemikiran mereka. Sebenarnya para Ikhwan kita sepakat dengan mereka dalam aqidah, manhaj, serta prinsip-prinsip dasar dakwah yang mulia ini —semoga Allah melindungi kita dari kejelekan diri kita—. Banyak dari kita terkadang lebih mengedepankan hazzun nafsi (interest pribadi) dari pada manhaj sendiri.

(Syeikh Musa Ibn Nasr) aku melihat banyak soal-soal yang senada, di sini aku temukan soal seperti yang lalu dan telah dijawab oleh Syeikh Salim, namun di sini aku menambahkan bahwa tidak seorangpun yang dapat mengkritik prinsip-prinsip dasar dakwah salafiyah, aqidah, maupun manhajnya. Karena dakwah ini adalah hasil buatan Allah Subhanahu wa ta’ala bukan buatan manusia.

Namun ada orang-orang yang berusaha memecah belah barisan ulama, mengadu domba antara penuntut ilmu sebagaimana yang diterangkan Syeikh Salim dalam jawabannya tadi.

Dari sini kami peringatkan kepada para duat salafi untuk mewaspadai gerakan ini yang targetnya hanyalah kejelekan terhadap dakwah salaf yang telah tersebar di seantero dunia Islam bahkan di seluruh dunia sebagaimana menyebarnya api jika disulut minyak. Sampai-sampai terdapat lahan dakwah subur di sebuah negeri yang seluruh penduduknya salafi. Ini adalah realita yang tak dapat disangkal apalagi sebagian ikhwan telah mendatangi tempat-tempat tersebut.

Oleh karena itu berbagai macam perbedaan dan perselisihan yang terjadi di antara salafiyyin, jangan sampai dicampuri oleh orang-orang awam. Hendaklah mereka menyerahkan perkara ini kepada para ulama, dan menyibukkan diri mereka dengan hal-hal yang bermanfaat seperti tazkiyatun nafsi maupun menuntut ilmu. Jangan mereka menyibukkan diri dengan isu-isu yang disebarkan dan jangan pula ikut campur menyebarkan isu-isu ini, tetapi hendaklah mengecek kebenaran berita yang mereka dengar, kemudian mengembalikannya kepada ulama ar-Rasikhin.

Hendaklah mereka menyibukkan diri dengan aib-aib yang ada pada diri mereka. Karena dengan membuat laris isu-isu yang tak jelas ini akan membuat para pemuda bingung dan akhirnya merekapun menjadi mangsa syaitan baik dari jin maupun manusia. Wallahu a’lam.

S. Kami mohon dari anda untuk menerangkan beda antara baiat sunnah dan bait hizbiyyah, apa makna harakah, dan bolehkah memberikan nama dakwah salafiyyah dengan harakah sunniyah ataupun harakah salafiyyah

J. (Syeikh Masyhur Salman) ikhwan sekalian, barangsiapa yang paham menepatkan permasalahan di hulu niscaya akan selamat di hilir. kita harus mendudukkan istilah–istilah pada posisi sebenarnya. Karena tidak tepatnya meletakkan istilah banyak orang akhirnya kebingungan.

Yang membaca karya-karya Syeikhul Islam khususnya karya-karya ibn Qayyim pasti akan menemui berapa banyak pengunaan istilah-istilah yang keliru ini memporak-porandakan kebenaran.

Arti Baiat yang kami pahami dari nash-nash tetap sebagaimana yang ada tidak ada yang baru, di antaranya Rasulullah bersabda: ”Barang siapa yang mati dan tidak ada di atas pundaknya biat maka mati dalam keadaan jahiliyyah.” Ketika Imam Ahmad ditanya tentang baiat ini dia berkata: ”bait ini adalah baiat untuk Imam. Baiat ini memiliki hukum-hukm khusus sebagaimana yang diatur oleh syariat. Dalam hadis panjang yang bersumber dari Abdullah ibn Amr ibn ‘Ash sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Muslim yang intinya Rasulullah bersabda: ”Barangsiapa yang membaiat imamnya dan mengulurkan tangan menjabatnya dengan sepenuh hati maka hendaklah mematuhinyua sedaya mampu, jika ada imam lain yang muncul ingin merebut imamah darinya maka hendakalah kalian penggal leher orang tersebut—dalam riwayat lain—maka pengallah leher orang yang terakhir.

Kami tidak mengetahui makna baiat kecuali ini (yakni hanya untuk imam tertinggi. pent) begitulah ditafsirkan baiat pada hadis pertama tadi dengan hadis kedua. Jika kita tanyakan kepada kelompok-kelompok hizbiyyah yang menggunakan baiat-baiat versi mereka: ”Apakah kalian akan menerapkan hadis kedua –yakni memenggal kepala imam-imam lain yang dibaiat jamaahnya— di luar kelompok kalian? mereka akan mengatakan tidak. Lantas kita katakan: ”Kalau begitu bagaimana kalian membeda-bedakan hadis ini? inilah yang disebut dalam istilah usul fikih dengan at-tahakkum yaitu perkataan sekehendak hati. Agama kita berdiari di atas ilmu dan wahyu. Agama kita tidak dibangun di atas rasio.

Adapun harakah, yaitu pergerakan dalam dakwah. Kalimat ini tidak lagi diperdebatkan, bahwa jika disebut akan memiliki konotasi negatif dan batil. Dan aku tidak tahu mengenai hal ini.

Adapun petanyaan mengenai aksi demonsratsi dan hukum pemilihan umum memnurut Islam? SEBENARNYA Para ulama-ulama besar zaman ini telah memberikan fatwa seputar masalah ini sebelum mereka wafat. Di dalam Majalah al-Asholah telah disebutkan fatwa syeikh-syeikh kami yakni Ibn Baaz, Syeikh al-Albani dan Syeikh ‘Usaimin –semoga Allah merahmati mereka—yang intinya bahwa hal-hal yang ditanyakan tadi seluruhnya tidak pernah disyariatkan.

Mengenai pemilihan umum hukumnya adalah tidak boleh. Adapun yang membolehkannya sebenarnya karena melihat satu sisi dan tidak melihat kepada sisi-sisi lainnya. Cukupalah bagi orang-orang yang ingin memberikan suaranya dalam pemilu untuk menyibukkan diri dengan berjihad di antara manusia menyebarkan aqidah dan manhajnya, hingga barang dagangannya tersebut laris .

S. mana yang lebih didahulukan apakah tasfiyah baru tarbiyah atau tidak masalah untuk mendahulukan salah satu dari keduanya ?

J. (Syeikh Masyhur Salman) Prinsipnya tasfiyah dan tarbiyah harus berjalan seiring, dalam syair dikatakan: ”Seorang Alim yang tidak mengamalkan ilmunya akan di azab sebelum para penyembah berhala.” Sebab pada dasarnya orang yang belajar adalah untuk dapat diamalkan, barang siapa yang bertambah ilmunya dan tidak bertambah taqwanya maka hendaklah curiga dengan ilmunya. Manusia tidak sanggup untuk belajar dan menambah sesuatu ilmu kecuali jika Allah telah melimpahkan kepadanya sifat as-sidqu (kejujuran) dan amal soleh, berkah dan beratambahnya ilmu seseorang itu jika dia berusaha mengamalkan ilmu yang didapatnya.

Adapun yang membagi hidupnya kepada periode tertentu —periode tasfiyah dahulu baru tarbiah atau sebaliknya— atau mengatakan: ”aku sekarang dalam periode tazkiah maka aku tidak akan beramal hingga aku paham agama ini secara keseluruhan”. Ini adalah keliru. Wajib bagi setiap orang setelah belajar langsung bersegera mengamalkannya mengejar ridho Allah subhanahu wa ta’ala.

S. Bagaimana cara menuntut Ilmu bagi yang terlambat, khususnya orang yang telah tua ?

J. (Syeikh Masyhur Salman) Barang siapa yang tidak belajar diwaktu kecil kemudian sadar setelah tua, aku bertanya berapa sebenarnya umurnya empat puluh tahunkah? Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam sendiri sebagai contoh bagi manusia diutus ketika berumur empat puluh tahun. Al-Qadhi ‘Iyath mulai menuntut Ilmu setelah berumur lebih dari empat puluh tahun. Sholih Bin Kaisan salah seorang pendidik Imam az-Zuhri di sekolah, jika kita membaca sahihain kita kan menemukan puluhan hadis yang diriwayatkan Sholih Bin Kaisan dari imam az-Zuhri. Sementara dia sendiri yang mengajari Imam az-Zuhri. Dia mulai menuntut ilmu setelah berumur lebih tujuh puluh tahun .

Bagi para penuntut ilmu hendaklah memulai hal-hal yang umum terlebih dahulu, dalam syair dikatakan ”Ilmu ibarat kulit dan isi, orang yang paling beruntung adalah orang yang memulai isi kemudian kulit”. Hal-hal yang harus menjadi perhatian khusus para penuntut ilmu adalah mendalami berbagai macam spesiailisiasi secara penuh, ibarat seorang yang sedang berjalan dalam sebuah kebun yang tinggi-tingi pohonnya dan ada yang rendah sambil mengambil seluruh ilmu, dia berjalan-jalan sambil mendengarkan berbagai macam seruan yang memberitahukannya agar singgah untuk mengambil bagian.

Alangkah butuhnya dakwah kita ini kepada orang-orang yang mendalami berbagai spsesialsiasi ilmu seperti ilmu qiraat, ilmu tafsir, bahasa Arab, Tauhid, Usul, fiqh, sirah.dan sebagainya.

Seorang penuntut ilmu hendaklah berjalan sambil mengambil seluruh cabang ilmu ini secara umum terlebih dahulu baru kemudian mengambil spesialisasi ilmu tertentu. Alangkah jeleknya jika seorang penuntut ilmu mengetahui ilmu hadis maupun mustalah secara detail lengkap dengan berbagai macam permasalahan hingga bagian terkecil dan jelimet sekalipun, namun buta mengenai ilmu fiqh dan tauhid. Wallahu a’lam.

S. Bagaimana derajat kesahaihan hadis:” Tidak akan masuk Surga anak zina” dan jika hadis ini benar apa maknanya ?

J. (Syeikh Ali Hasan) pertama: hadis ini sahih. Syeikh al-Albani mensahihkannya dalam Silsilah Shaihah sambil menyebutkan jalan riwayatnya dan lafaznya. Adapun dari segi maknanya sebenarnya tidaklah ada hal yang perlu dianggap aneh sebagaimana yang terlihat dari perkataan penanya. Maknanya sebagaimana dikatakan ibn al-Qayyim bahwa secara kebiasaannya tidaklah keluar dari sperma yang keji kecuali yang keji pula, maka jika anak zina mengikuti kejelekan orang tuanya, secara otomatis dia turut pula dihukumi sebagaimana orang tuanya. Namun jika anak zina Allah beri hidayat dan jalan kebenaran, maka sebagaimana kata Allah: ”Setiap jiwa akan mempertanggung jawabkan apa-apa yang diperbuatnya.” Wallahu a’lam Wa Sallalahu Wassalam ala an-Nabi wa alihi wasahbihi.

S. Apakah ada peluang bagi kami untuk belajar di Markaz Imam al-Albani ?

J. (Syeikh Salim Hilali) Kami bermohon kepada Allah agar mempermudah berbagai urusan kami agar dapat menjadikan markaz sebagai penyangga ilmu dan dapat menerima para penuntut ilmu dari seluruh dunia. Di sini aku informasikan bahwa kini markaz telah membangun gedung besar -berkat inayah Allah yang pertama dan terakhir— kemudian berkat sumbangan ikhwan kita para donatur yang mukhlisin dan muhsinin, secara khusus aku sebutkan salah seorang mereka, sebagaimana dalam hadis disebutkan: ”Barangsiapa yang tidak bersyukur kepada manusia hakikatnya tidak pernah bersyukur kepada Allah” yaitu al- Akh KOLID BA WAZIR ABU AHMAD, semoga Allah memberkahinya dalam harta, keluarga maupun anak-ananya, sebagaimana kuharapkan dari seluruh peserta untuk berdoa kepada Allah agar dia diberkahi Allah dalam harta, waktu dan anak-anaknya, semoga Allah memperbanyak orang-orang seperti dia. Yang banyak berinfak untuk ilmu dan para penuntut ilmu.

Aku beritahukan berita gembira kepada kalian bahwa markaz sebentar lagi akan dapat menerima para penuntut ilmu salafiyyin. Insya Allah kalian akan menyaksikan tersebarnya ilmu syariah seperti fiqh, hadis, tafsir, bahasa Arab dan sebagainya.

Bagi yang tidak bisa belajar disana (Jordan) maka markaz telah membuka situs di internet setiap hari ahad dan rabu. Hari Ahad materi ulum al-quran dan sirah nabawiyyah, bagi ikhwan di Indonesia dapat mengikutinya dari rumah masing-masing, selanjutnya pada hari rabu materi I’lam al-Muwaqqiin dan Ayatul Ahkam wa ahadisiha, dan pada bulan empat insya allah akan ada daurah syariyyah akan disiarkan melalui paltalk internet. Sarana-sarana seperti ini harus turut kita perhatikan dan dapat kita pergunakan sebaikanya.

Semoga Allah memberi taufiq kepad kit seluruhnya dengan berbuat ap-apa yang dirididoiNya dan dicintaiNya. Wassalmu laikum warahmatullahi wabarakatuh

LIQOUN MAFTUH(PERTEMUAN TERBUKA)

ANTAR DA’I SALAF DENGAN PARA MASYAKIH

S. Kami mendengar beberapa judul buku yang anda sebutkan dalam ceramah anda. Bagaimana upaya kami untuk mendapatkan buku-buku terbitan markaz Imam al-Bani tersebut ?

J. (Syeik Salim al-Hilalli) Alhamdulillah, salawat dan salam atas Rasululillah Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam, wa badu: dalam hal ini silahkan anda kirim surat ke markaz, dan untuk melihat judul-judulnya silahkan anda lihat dalam majalah Al-Asolah. Insya allah akan mendapatkan buku-buku tersebut. Adapun mengenai buku-buku kami yang dicetak di Indonesia kami serahkan pengawasan sepenuhnya kepada al-Ustadz Abdurrahman at-Tamimi agar memantau terbitan-terbitan kami dan masalah penterjemahannya.

S. Bagaimana metode yang digunakan untuk membantah ahli bid’ah?

J. Syeikh Musa ibn Nasr) Apabila ahli bid’ah tersebut seorang tokoh ternama yang dikenal selalu menyebarkan bid’ahnmya kepada khalayak ramai, maka dia harus dibantah didepan khalayak ramai pula dan di-tahzir agar orang-orang menjauhinya. Sebaliknya jika dia orang biasa yang tidak dikenal dikhalayak ramai dan bid’ahnya hanya pada masalah-masalah yang kecil maka jangan dibantah didepan khalayak ramai dan disebarluaskan. Sebab ini merupakan salah satu metode yang ditempuh ahli bid’ah agar dapat dikenal dan masyhur. Yaitu seorang ahli bidah yang tidak terkenal membuat bantahan terhadap salafiyyin pada satu masalah, kemudian dibantah kembali oleh salafiyyun dan tullabul-ilmi dengan menyebarkannya kepada orang banyak. Hal seperti ini membuat nama ahli bi’ah tersebut masyhur dan dikenal. Tetapi perlu diperhatikan juga dalam membantahnya haruslah dengan dalil, hujjah dan dalil aqliyyah maupun naqliyyah.

S. Kami memiliki dua pertanyaan, pertama: apa maksud dari perkataan Imam Ahmad bahwa golongan khawarij merekalah kelompok murjiah? Kedua, bagaimana membantah perkataan Jamaah Tabligh yang datang dari kerajaan Saudi Arabia: ”Anda mengatakan bahwa Jamaah Tabligh tidak menghiraukan dakwah kepada aqidah dan tauhid uluhiyyah, padahal kami datang kemari dan mangajak orang kepada tauhid tersebut”? bagaimana menjawab syubhat yang dilontarkan mereka ini ya… Syaikh karena mereka banyak berdalih dengan ini.

J. (Syeikh Ali Hasan) Alhamdulillah wassalatu wassalmu ‘ala Rasuluillah wa ba’du: untuk menjawab point pertama yang anda tanyakan saya menyarankan anda untuk membaca kita at ta’rif wa at-tanbi’ah dengan judul “al-Murjiah Wa hum Alkhawarij”.

Dalam buku ini telah saya nukil dari Imam Ahmad dan imam lainnya penjelasan, tentang kalimat ini, maknanya dan hal-hal lain yang berhubungan dengan itu, silahkan anda merujuk kepadanya! berhubung keterbatasan waktu untuk menjawabnya secara luas.

Adapun pertanyaan tentang jamaah yang anda sebutkan , maka dapat dibantah dengan dua hal; pertama; jika memang ada Jamaah Tabligh yang datang dari sebagian negeri tertentu mengemukakan hal ini (bahwa mereka peduli terhadap dakwah kepada aqidah dan tauhid rububiyyah. Red) sebenarnya perkara ini tidak termasuk di dalam manhaj Jamaah tabligh. Sebab pada prinsipnya manhaj JT (Jamaah Tabligh) adalah berdiam diri terhadap masalah aqidah, masalah bidah, dan perkara-perkara yang menyangkut hal ini. Esensi dari manhaj mereka intinya adalah dakwah terhadap fadhail a’mal tanpa menyinggung masail (permasalahan-permasalahan khilaf.red). adapun bantahan Kedua: perkataan–perkataan mereka (bahwa mereka juga turut berdakwah kepada aqidah dan tauhid uluhiyyah. Red) hanyalah sekedar ucapan dibibir tanpa realisasi. Hakikat di lapangan jika anda mengikuti halaqah-halaqah mereka niscaya anda tidak akan dapati mereka berdakwah kepada hal ini walaupun hanya sepersepuluhnya dalam hal aqidah, dan sembilan persepuluhnya selain aqidah, karena nizam ataupun manhaj JT sebenarnya dibangun di atas pemahaman yang kacau balau dan tebalik, sebagaimana mereka berdalih dengan sabda Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam: ”kesempurnaan Islam seseorang jika dia dapat meninggalkan perkara-perkara yang tidak bermanfaat bagainya”. Dalam menginterpretasikan hadis ini mereka berkata: ”adalah hal-hal yang tidak bermanfaat bagi kami untuk menyinggung aqidah manusia dan bid’ah-bid’ah yang mereka lakukan. Dengan demikian tidak boleh menyinggung ataupun membantah bid’ah-bid’ah mereka, cukup kami ajarkan mereka fadhail a’mal, zikir-zikir, wiridan, dan prinsip dasar manhaj berupa al-khuruj, musyawarah, patuh terhadap amir, bagaimana jalan, berbaring, makan, dan berpakaian sesuai dengan Sunnah. Inilah batas dakwah Jamaah Tabligh tidak boleh lebih dari hal ini. Adapaun jika mereka mengaku berdakwah kepada hal-hal lain di luar ini, sebenarnya hanyalah sekedar omong kosong untuk menarik orang kepada jamaah mereka. Jawaban-jawaban seperti ini (bahwa da’wah mereka lebih dari hal-hal yang disebutkan tadi) selalu mereka katakan secara khusus kepada orang-orang yang tahu tentang rahasia yang mereka sembunyikan, jika mereka benar mendakwahkan hal-hal selain ini pastilah mereka tidak ngomong seperti ini, wallahu a’lam.

S Bolehkah kita mentahzir yayasan-yayasan ataupun individu-individu tertentu yang di antara sumber pendanaannya diperoleh dari jamiyyah khairiyyah, dengan dalih bahwa yayasan maupun individu tesebut telah ditahzir para ulama?

J. (Salim Hilaly) Menerima bantuan dari Jamiyyat khairiyyah yang berkiprah di bidang sosial dan santunan terhadap korban-korban bencana, jika tanpa ada tendensi tertentu seperti membentuk hizb (kelompok); tidak memecah-belah barisan kaum muslimin; tidak menggunakan harta yang diamanahkan kaum muslimin kepada mereka kecuali pada tempat-tempat yang layak dan syar’ie, maka yayasan-yasaan seperti ini boleh bekerja sama dengan mereka dan mengambil manfaat dari mereka –Semoga Allah memberkahi anda.— dalam kegiatan-kegiatan yang berbentuk kebajikan.

Adapun jam’iyyah hizbiyyah yang menggunakan harta kaum muslimin sebagai sarana untuk merealisasikan berbagai kepentingannya dan dalam rangka memecah-belah barisan salafiyyin secara khusus atau untuk merusak dakwah salafiyyah, jam’iyyat seperti ini jika ternyata memberikan bantuan materil tanpa ada keterikatan atau syarat-syarat tertentu, maka bantuan seperti ini boleh diambil. Sebab harta yang mereka salurkan pada hakikatnya bukanlah harta mereka ataupun harta milik orangtua mereka, tetapi harta kaum muslimin yang diserahkan ketangan mereka untuk disalurkan. Tetapi jika ternyata belakangan mereka berupaya untuk mengikat atau mengintervensi kita, Semoga Allah mencukupkan kita dari bantuan maupun harta-harta mereka.

Pada kesempatan ini kukatakan: ”bahwa pada dasarnya wajib bagi setiap da’i ataupun yayasan salafiyyah untuk tidak bergantung terus menerus kepada dana-dana yang di dapat dari bantuan luar negeri, tetapi wajib bagi mereka untuk berupaya meningkatkan diri dan mandiri agar dapat independen dalam mengeluarkan keputusan dan kebijaksanaan, wabillahi at-taufiq wallahu a’lam.

S Ada sebuah hadis yang memerintahkan taat kepada umara, pertanyaannya apakah waliul amri.(penguasa) yang berkuasa di Indonesia ini termasuk ulul amari yang wajib ditaati oleh bangsa Indonesia ?

J. (Syeikh Musa ibn Nasr) mengenai pemimipin Indonesia adalah seorang wanita, ini adalah masalah baru yang muncul sekarang, walaupun sebelumnya negara ini dipimpin oleh kaum lelaki, dan masalah pemimpin wanita ini sekarang menjadi musibah seantero dunia disebabkan lemahnya kaum lelaki sehingga dikalahkan oleh wanita, dan hadis yang menyatakan: ”Tidak akan berjaya suatu kaum yang dipimpin oleh seorang wanita” adalah hadis shahih, walaupun realita sekarang kita lihat banyak wanita yang menjadi pemimpin, dalam hal ini kita diperintahkan untuk melihat realita dan menyesuaikan dengan syariat. Jika pemimpin wanita ini memerintahkan untuk taat kepada Allah maka dia wajib dipatuhi, sebaliknya jika dia memerintahkan untuk kemaksiatan maka kita tidak akan patuh kepadanya bahkan lelaki sekalipun yang menjadi pemimpin tidak boleh dipatuhi (jika menyeru kepada maksiat). kesimpulannya, jika para penguasa itu berbuat kezaliman kita dilarang untuk mematuhi mereka dalam kezaliman tersebut.dan kita dilarang untuk keluar dari barisan (membelot dan menentang mereka). Kita diperintahkan untuk mendoakan mereka agar ditunjuki kepada jalan kebenaran dan ketaqwaan. Bukanlah manhaj salaf keluar menyusun kekuatan untuk menentang penguasa, kecuali jika nampak pada para penguasa tersebut kufur yang nyata, dengan catatan bahwa kita memang telah benar-benar mampu untuk menggulingkannya; telah terwujud ahlu alhilli yang memilik kekuatan dan jamaah yang sanggup untuk mereformasi dan merubah struktur kepemerintahan tanpa terjadi fitnah. Sebab di dalam kaedah dikatakan: ”Meninggalkan kerusakan lebih utama dari mengambil kemanfaatan”.

S. apa maksud dari pernyataan “Sunnah sahabat”?

J. (Syeikh Ali Hasan) pertama : perkatan ini adalah sebuah terminologi, sebab kata: as-Sunnah, bermakna metode. Jika dikatakan: ”Sunnah sahabah” maksudnya adalah metode atau cara sahabat. Istilah seperti ini tidak masalah untuk dikatakan. Dalam kata lain bahwa cara seperti ini pernah di perbuat para sahabat dan masyhur tersebar di antara mereka tanpa ada yang mengingkari. Kedua apakah kata “sunnah sahabah” dapat pula diartikan sebagai Sunnah Nabi? jawabannya adalah tidak. Jika disebutkan ”Sunnah Sahabat” terhadap sesuatu yang diriwayatkan sahabat dan memiliki hukum marfu’ dalam perkara yang tidak boleh berijtihad di dalamnya, hal ini dapat dikatakan sebagai sunnah sahabat, walaupun dengan nash yang tidak marfu’ secara langsung. Ketiga jika terdapat pengertian lain selain yang saya sebutkan tadi , maka tolong dijelaskan agar kami dapat menghukuminya. Namun aku melihat bahwa tidak mungkin makna perkataan tersebut keluar dari kedua perkara yang telah kusebutkan tadi , wallahu a’lam.

S. Tetapi ya syaikh ada yang megartikan istilah Sunnah Sahabat dengan tafsiran sahabat?

J. (Syeikh Ali Hasan) Hal ini tidak benar. Tetapi yang dikatakan para ulama bahwa perkataan sahabat dalam asbab an-Nuzul memiliki hukum marfu’. Tetapi jika hanya sekedar interpretasi dari mereka, engkau akan selalu mendapati bahwa tafsir Ibn Abbas selalu berbeda dengan tafsiran Ibn mas’ud, apakah mungkin dalam perkara ini disebut juga dengan Sunnah Sahabah walaupun berupa pendapat yang berbeda-beda?. Wallahu a’lam.

S. kami ingin penjelasan anda tentang diskursus “Islamisasi Ilmu” dan relevansinya dengan at-tasfiyah dan at-tarbiayah ? dan apakah para pakar kedokteran dan pakar-pakar ilmu alam dapat dimasukkan ke dalam barisan ulama dalam firman Allah subhanahu wa ta’ala: ” Sesungguhnya hamba-hamba yang takut kepada Allah hanyalah para ulama”?

J. Maksud firman Allah di atas adalah para ulama-ulama ilmu syar’ie yang dapat memahami syariat dan paham Maksud Allah, bukan para ulama di bidang ilmu alam, walaupun mungkin terkadang rasa takut mereka dapat timbul setelah menyaksikan kebesaran Allah subhanahu wa ta’ala dalam berbagai eksperimen mereka, namun makna ayat di atas adalah ulama-ulama syar’ie. merekalah yang takut kepada Allah.

Adapun tentang islamisasi ilmu pengetahuan ……

Medan, 3 Mei 2002/20 Shafar 1423

Diterjemahkan oleh Abu Fairuz Ahmad Ridwan Al Medani

3 thoughts on “Tanya Jawab dengan para Masyayikh Yordania ( Murid –Murid Imam Al Albani )