Sepenggal Kisah perjalanan Umrah
Deru angin utara membuat fery yang membawa kami dari Batam menuju Singapura terhempas dan berguncang membuat para penumpang khawatir dan ketakutan,syukur saja Fery kami berukuran besar hingga dapat melewati gulungan demi gulungan ombak dengan stabil. Setelah beberapa saat, kapal kami telah mendekat di pelabuhan harbour bay pintu gerbang laut menuju “kota singa” itu.
Dari laut terlihat jelas gedung-gedung tinggi menjulang mencakar langit dan flat-flat yang berdiri megah bersusun-susun indah. Sungguh negeri kecil yang lebih besar sedikit dibandingkan pulau Batam ini, begitu majunya dalam urusan dunia mereka, walaupun dari sisi pandangan akhirat mereka begitu jauh dalam kegelapan kesyirikan dan kekufuran terhadap Pencipta Alam semesta. Perumpamaan mereka persis sebagaimana yang Allah sebutkan dalam Alquran yang artinya :” Mereka hanyalah mengetahui zahir dari kehidupan dunia sementara untuk negeri akhirat mereka begitu lalai”.
Setibanya di Imigrasi, aku dan seorang sahabatku telah syak bahwa pasti kami tidak dibiarkan lewat begitu saja, pasti kami akan dipanggil ke Office mereka,sebab dua minggu sebelum itu kami telah pula di tolak masuk dari Johor Bahru Malaysia. Adapun sebabnya sebenarnya adalah sebab yang dicari-cari mereka untuk menolak kami.
Kata mereka temanku yang satu itu pernah dibulan Agustus membawa seseorang sahabatnya yang berasal dari Pakan Baru, yang pernah ikut Ke Suria. Kata mereka Sahabat temanku itu adalah Teroris. Padahal sahabatnya itu kutahu benar seseorang ikhwan yang bermanhaj salaf dan pergi ke Suria dengan misi kemanusiaan untuk membawa dana Infaq kaum muslimin yang dikumpulkan dari kaum muslimin Indonesia melalui Radio TV rodja, Radio Hang fm dan lembaga-lembaga lainnya. Apalagi keberangkatan beliau untuk menemani ust Senior yang malang-melintang ke berbagai belahan bumi yang penduduknya terkena musibah, seperti bencana Tsunami di Aceh, bencana gempa di Sumatera Barat , Bencana kemanusian di Suria maupun Yaman. ….subhanallah, hanyalah alasan yang dicari-cari untuk menolak temanku itu. Karena kami satu rombongan, maka seluruhnya terkena usir dan terkena stempel dilarang masuk dari negeri yang Arogan itu.
Kini terulang kembali kisah pahit itu, kami ditolak masuk walaupun sekedar untuk transit umrah saja, karena pesawat yang menerbangkan kami bertolak dari Bandara Changi Singapura. Allahul musta’an, terpaksa tiket pulang-pergi kami yang nilainya puluhan juta hangus sia-sia, bahkan kami harus terpisah dari Jamaah.
Belum cukup sampai di situ, keesokan harinya istri temanku itu juga di interogasi habis-habisan dari pagi hingga siang hari dengan berbagai macam tuduhan, membantu teroris…membantu pembunuh…dst, dari omong-kosong dan fitnah mereka hingga akhirnya terpaksa dia juga harus dipulangkan dan batal berangkat Umrah. Inna lillahi wa inna ilaihi Rajiun. Sungguh kezaliman yang luar biasa dari negeri kafir yang sombong lagi arogan tersebut. Berarti sempurnalah tiga tiket pulang-pergi ke Saudi hangus sia-sia.
Informasi istri temanku itu ditolak dan batal umrah, baru kami dapatkan tatkala kami tiba di Jedah dengan maskapai penenerbangan Malaysia, yang tiketnya baru saja dibeli setelah kami dinyatakan gagal berangkat terbang dari Singapura.
Ya Allah… sesungguhnya Engkau tau kami bukan ikut jaringan teroris bukan pula ridho terhadap apa yang mereka lakukan, Engkau mengetahui bahwa kami orang yang senantiasa mengajak umat untuk meninggalkan tindakan-tindaka radikal yang bertentangan dengan agamamu, karena agama kami mengharamkan untuk membunuh kucing dengan tidak hak, apalagi menumpahkan darah manusia dengan batil.
Ya Allah…engkau mengetahui bahwa kami adalah musuh bagi kaum khawarij dan jamaah yang mengkafirkan kaum muslimin maupun penguasannya…maka kami bermohon dengan nama-nama mu yang mulia dan sifat-sifatMu yang Maha Tinggi, semoga Engkau memberikan balasan setimpal kepada orang-orang kafir yang telah memfitnah kami dan menzalimi hak-hak kami.
Berjumpa dengan syeikh Ali Hasan
Dari atas hotel Rehab Al-khair-Mekah- tingkat 17 kupandangi Tower Zam-Zam yang begitu Tinggi dan kokohnya berdiri di bawah Jam Raksasa terbesar di dunia, yang konon kabarnya jarum pendeknya saja beratnya sekitar 4 ton. Bosan menatap Tower tertinggi itu, kupalingkan pandaganku ke hotel-hotel lama dengan segala kesemrautannya, boleh saja beberapa tahun ke depan hotel-hotel tersebut benar-benar akan punah berganti dengan hotel-hotel sekelas Hilton, hotel Darut Tauhid, maupun hotel Zam-zam, dan menurtku..hotel yang kutempati ini pun akan dimusnahkan juga kelak berganti dengan hotel-hotel yang megah.
Malam tadi tatkala memasuki Masjidil Haram, aku sempat kebingungan melihat semrautnya keadaan Masjidil Haram, pintu-pintu utama sebagaian besarnya telah hilang, bahkan setengah bangunan Masjidil Haram telah tiada berganti dengan bangunan-bangunan yang sedang dalam pengerjaan. Besi-besi cor-coran masih tampak di sana sini menambah semangkin semrautnya keadaan, belum lagi suara alat-alat berat yang hingar-bingar menghancurkan bangunan lama, suara para tukang yang bekerja, debu-debu yang berterbangan…dst, semangkin menambah sumpeknya suana haram. Meskipun kuyakin insyaallah beberapa tahun kedepan, insyaallah perluasan masjidil haram yang di gagas Raja Abdullah ini akan mampu menampung 4 juta jamaah dari seluruh dunia.
Jamaah Umrah kami terpaksa harus mutar-mutar terlebih dahulu untuk mencapai tempat thawaf. Setelah berputar-putar mengikuti rambu-rambu yang ditempel di dinding-dinding pagar kawasan pengerjaan, akhirnya sampailah kami ke tempat pelataran thawaf yang begitu tidak beraturannya.
Thawaf dalam keadaan padat,sulit untuk menjaga keutuhan jamaah, baru kami berjalan beberapa saat, maka jamaahpun telah terpisah-pisah satu-sama lainnya hingga akhirnya rombongan kami yang jumlahnya empat puluhan tinggal berempat saja.
Selepas thawaf kami beristirahat sejenak untuk melepas lelah sambil sholat sunnat tawaf dua rakaat dan menunggu jamaah yang tadi terpisah-pisah. Setelah itu barulah kami kembali melanjutkan untuk memulai sa’i ke gunung Shafa.
Sebelum Umrah kami sempatkan sejenak untuk minum air zam-zam. Aku sengaja memilih tempat yang paling ujung yang terlihat lebih lengang. Di situ kudapat seseorang yang sedang duduk di atas kursi kecil tengah minum zam-zam. Kuperhatikan wajahnya dari samping, kulihat wajah ini bukanlah asing bagiku…ya, aku seketika menyerunya:” Syeikh Ali? Ia melihatku sambil menjawab: “ya”….subhanallah makhluk yang kulihat ini adalah murid senior Syeikh Muhammad Nasiruddin al-Albani yang begitu terkenal dengan segudang buku-buku karangannya. Beliaulah Syeikh Ali Hasan Al-Halabi Al-Atsari yang bermukim di Jordania.
Aku katakan bahwa aku senantiasa ikut daurah-daurah beliau yang diadakan di Indonesia tiap setahun sekali, dan beliaupn terlihat senang mendengarnya. Tak lama setelah itu beliau minta izin untuk melanjutkan perjalanannya untuk kemudian hilang ditengah lautan manusia yang sedang melakukan sa’i.
Begitulah para ulama, tatkala bercampur dengan manusia, tak ada yang dapat membedakan penampilannya dengan orang kebanyakan, karena mereka bukanlah seperti para Ahli bid’ah yang senantiasa mengenakan pakaian dan simbol-simbol tertentu agar dapat tampil beda di tengah-tengah manusia.
Sekilas dalam hatiku terlintas pemikiran bahwa manusia biasa dan para ulama itu sama-sama tampilan luarnya, bahkan sebagaian orang awam sunggh lebih memikat dan elok tampilannya, tetapi ketika ulama berbicara, barulah tau mana beras mana pulut, mana emas dan mana imitasi, mana loyang dan mana besi. Subhanallah.
Mekah, 28 Rabiul Awwal 1436/19 Jan 2015
Abu Fairuz