Takjub hatiku tatkala diiringkan dengan serombongan ulama-ulama besar dari berbagai penjuru Saudi, sebagian kukenal baik sebagaimana Syeikh Sulaiman Ruhaili, Syeikh Sholeh Sindi, sebagian sering kulihat wajahnya di beberapa media visual, dan sebagian besar tak kukenal karena kekerdilan diri.
Sepintas tak ada yang membedakan antara mereka dan orang biasa-biasa, dua tiga orang tuna-netra, seluruh tampilan sederhana, namun jika berbicara barulah kutahu bahwa mereka bukan orang biasa. Mereka adalah pelita suluh penerang ummat dari gelapnya syahawat dan syubuhat.
Hidup beberapa saat sejak dari Aziziyah-Mina-Arafat, membuat diriku membumbung ke langit, terbang tinggi seolah ingin turut menjadi bintang-bintang bertaburan bak lentera di kala malam.
Bila tak mampu seperti mereka minimal pernah mengiringi bintang-bintang tersebut, menatap mereka lekat-lekat dari jarak dekat, memanfaatkan kerlap-kerlipnya, menyapa, bersentuhan tangan serta bertukar peluk bersama mereka.
Itulah ciri-ciri ulama Ahlus sunnah yang dimuliakan dengan ilmu, bukan dengan zat mereka -sebagaimana ahlu bid’ah yang mengkultuskan orang yang mereka ulamakan, mengusap-usap bekas apapun yg pernah bersentuhan badan dengan mereka, apakah pakaian, minuman, rambut bahkan sepatu dan-maaf- kotoran mereka. Nauzubillah.
Tak perlu heran jika kau lihat pengikut mereka ada yang bersujud dikaki “sang wali”, bahkan mencium tapak kakinya, meminum air bekas cucian kakinya.
———
Arafah, jelang wukuf 9 Zulhijjah1439/20 Agust 2018
Abu Fairuz