IBUKU
Nur Gaya binti Ibrahim nama ibuku. Terlahir di Tanjung Tiram Kabupaten Asahan, Sumatera Utara yang sekarang menjadi Kabupaten Batu Bara pada tanggal 19 Des 1939 dari pernikahan kakek dan nenek kami Ibrahim dan Siti Rahmah.
Bagi orang-orang mungkin ibuku bukanlah sosok yang istimewa, karena ia bukan pejabat berpangkat dan bukan pula anak konglomerat. Tapi tidak bagi diriku dan saudar-saudariku yang lain.
Bagi kami ia adalah sosok besar yang tak tergantikan. Pelita hidup yang tahan banting menghadapi berbagai tantangan dan terpaan badai kehidupan. Sepahit apapun penderitaan beliau sebagai istri dari suami yang berstatus pegawai negeri rendahan, tetap dihadapi dengan tabah.
Untuk mendopang perekonomian keluarga, ibuku terpaksa menerima orderan konveksi, memproduksi makanan ringan dari bahan ubi yang ditanam ayahku. “kue gelang-gelang” yang kami sebut alen-alen pernah diproduksi ibu dan dipasarkan di kedai-kedai.
Tak cukup hanya itu, ia juga membuat kedai-kecil-kecilan di depan rumah mengharap seperak dua perak laba menambah honor ayah yang tak seberapa.
Setiap pagi kaki kecil mungilnya tegap melangkah ke “Pajak Central Sambu” berbelanja sayur-mayur dan lauk-pauk untuk kebutuhan para tetangga.
Rintangan Pasar Sambu yang banyak copetnya, tak menghalagi ibuku untuk tetap istiqomah menjemput rezeki. Bahkan pernah salah seorang anak angkat ibuku, anak yatim yang tinggal bersama kami bertarung melawan penjambret yang mencoba menjambret dompet ibu.
Pernah pula ketika ibu hamil besar menanti kelahiran anaknya ditabrak dari arah belakang dengan kereta sorong pengangkut barang membuat ibu terjungkal ke belakang, namun Alhamdulillah ibuku selamat.
Ketika duduk di Sekolah Dasar, tugasku dan abang adalah mengantar kue-kue buatan ibu di malam hari ke warung-warung dan kedai kopi. Hal itu aku lakukan setiap jam 6 pagi sebelum masuk sekolah. Sore jam 5 kami jemput kembali yang bersisa sambil menagih uang dari kue yang laku. Kue apem merah, kue dadar, kue onde-onde, kue lepat bugis, kue ongol-ongol adalah produk laris manis buatan ibuku. Sesekali cuaca kurang bagus kue ibu bersisa banyak, sesekali semuanya habis ludes tak bersisa. Namun ibu tetap istiqamah dgn kue-kuenya.
HEMAT
Satu hal yang sekarang ku benar-benar sadar dan paham, bahwa ibuku hakikatnya tidaklah kikir, sebagaimana yang mungkin dulu pernah hinggap di kepalaku.
Lebih benar ialah sosok wanita yang bijaksana dan hemat menggunakan harta suami. Laba yang di dapat dari berjual beli dan kelebihan uang belanja yang dihemat ibu, mampu beliau kumpulkan dan belikan emas berpuluh gram yang akhirnya dapat digunakan sebagai biaya renovasi rumah, dan biaya sekolah anak-anaknya.
Teringat sekali ketika datang panggilan aku diterima sebagai mahasiswa dari Universitas Islam Madinah, di tahun 92 dalam bentuk surat dari kedutaan Saudi, aku tak punya biaya berangkat ke Jakarta dengan tiket pesawat yang kala itu tingginya selangit, dan transportasi udara hanyalah milik orang-orang kaya belaka, sementara aku harus tiba dalam 3 hari di Jakarta untuk keberangkatan ke Saudi. Kala itu ibuku jual perhiasan emasnya senilai 500 ribu rupiah untuk biaya keberangkatannku, subhanallah !! Luar biasa pengorbanannya untukku, padahal seumur hidup ia tak pernah menaiki transportasi udara, namun demiku segalanya ia lakukan.
Satu hal lagi yang menjadi kenangan tak kulupakan sepanjang hayat, tatkala aku menginjak kelas 2 tingkat madrasah Aliah, sekolah mewajibkan kami membeli kamus besar berbahasa Arab yang harganya luar biasa kala itu, 75 ribu rupiah yang sekarang setara dengan 750 ribuan, ibuku dengan tulus dan ikhlas mengorbankan mesin jahit “Singer”nya untuk di jual demi menebus kamus besar tersebut.
Keahlian ibu menghemat uang belanja begitu hebat sehingga mampu menghidupi seluruh anak-anaknya yang 12 orang dengan semua kerabat yang pernah hidup menumpang dan menginap di rumah kami memang sangat luar biasa.
Memang kami jarang menyantap daging, ikan-ikan mahal, susu pun tak pernah , namun ibu tetap mengupayakan makanan yang kami santap bergizi dan protein tinggi. Sebut saja ikan asin kresek, telur dadar dicampur kelapa, ikan tamban dan dencis, adalah lauk yang menjadi langanan setia kami.
Tiap pagi mau sekolah, seluruh anak wajib dipastikan sarapan sepiring nasi dan segelas teh manis, membuat kami tahan tak perlu jajan di sekolah lagi, karena merasa telah dicukupkan. Jajan di sekolah hanya seminggu sekali di zamanku, ketika resesi ekonomi melanda waktu itu.
Pulang dari sekolah Dasar Negeri, lepas makan siang dan istirahat sejenak, kami wajib melanjutkan sekolah siang di Madrasah, belajar membaca quran, ilmu-ilmu dasar Islam dan Bahasa Arab sederhana yang sangat membantuku ketika testing ujian masuk ke pesantren selepas SD.
RAJIN MENGAJI DAN MENIMBA ILMU
Ibuku memang tak pernah blajar agama di bangku sekolah, karena memang tak punya kesempatan dan biaya, namun beliau begitu lihai ilmu berhitung dan mengatur keuangan. Di samping itu betapa getolnya ibuku ikut kajian-kajian keislaman terkhusus materi tafsir quran yang diajarkan para ustadz dari organisasi Muhammadiyah, sehingga membuat ibuku boleh dikatakan mampu menerjemah sebagian besar isi qur’an.
Meski tak pernah belajar nahwu dan shorof sepertiku namun hampir-hampir tiada kesalahan dalam menterjemah quran .
Kalau sekiranya kau lihat mushaf ibuku, subhanallah kau akan kagum betapa mushaf tersebut penuh dengan tulisan-tulisan tangan dibawah setiap ayat, baik berupa terjemahan maupun faedah dan hukum dari setiap ayat.
Ingat di masa tuanya, tiap kala ku boyong ibu ke Batam, maka dalam 2-3 bulan ia biasa menghatamkan satu hingga dua kali quran, subhanallah. Tiap subuh lepas sholat subuh di masjid, ibuku pulang ke rumah, membentangkan sajadahnya dan mulai membaca quran. Subhanallah.
TEGAS DAN SEDIKIT KERAS
Boleh dibilang bahwa akhlak ibuku adalah hasil polesan ayahku yang penuh kelembutan dan kebijaksanaan. Nenekku yang tabiatnya keras, memang kulihat punya pengaruh membentuk perangai ibu, namun berkat ayahku-setelah taufiq Allah- perangai ibuku berubah lebih lembut meski sesekali keras dan tegasnya membuat kami sangat takut dengan cubitan ibu. “ku piyuhkan-baca cubit- ko nanti” adalah kata yang paling mujarab menghentikan segala kedegilan kami.
Bila dalam berpergian kami banyak permintaan untuk membeli semua yang lewat dan datang, ibu cukup menempekan ibu jari dan jari telunjukkan di paha kami, maka kamipun terdiam. Karena itulah kami tak berani banyak permintaan pada ibu, bila mau sesuatu kami kan bilang ke ayah, maka beliau bila ada uang pasti akan kabulkan permintaan kami.
AHLI SHOLAT MALAM DAN DHUHA
Memang ibuku bukanlah muallimah maupun ustadzah, namun dalam menerapkan ilmu yang di dapat, sungguh luar biasa. Sholat dhuha setauku tak pernah ditinggalkan ibu, demikian pula sholat malam, saban hari dilakukan. Berbeda dengan kami anak-anaknya yang terkadang ilmu tak sebanding dengan amal, wallahul musta’an.
Di bilik kamarnya selalu tergantung mukena dan sajadah yang terkadang sudah lusuh karena selalu dipakai dan dikenakan. Beda sungguh dengan kami anak –anaknya yang punya sajadah, sarung dan mukan yang masih tetap baru karena jarang dipakai sholat sunnah di rumah.
Dalam lemari ibuku berlusin-lusin ibuku mengkoleksi kain Madras untuk mengaji dan sholat, bahkan setelah menikah ibu tak segan-segan membagi-bagi kain madrasnya untuk anak-anaknya sebagai bekal untuk sholat.
SELALU BERTANYA
Tatkala aku sudah mulai bisa berbahasa Arab setelah belajar beberapa tahun di pesantren, tiap liburan ibuku selalu bertanya padaku tentang makna ayat, apalagi selepas tamat dari UIM ibuku paling doyan duduk berlama-lama denganku memperdengarkan bacaan qur’annya dan terjemahannya yang sesekali kuluruskan bila ada kekhilafan menterjemah karena tak kenal yang namanya ilmu kaedah berbasa Arab.
Kenangan yang paling indah adalah tatkala ibuku sudah mulai digrogoti penyakit gulanya dan uzur, tiap kali aku mengajari ummhat berbahasa Arab, ibuku duduk di atas kursi rodanya sebagai murid yang pertama datang dan setia mengisi absen perdana. Meski tak begitu nyambung karena uzurnya tapi dia tetap konsen mengikutiku memberikan pelajaran Bahasa Arab.
Tatkala ku absen satu persatu murid, ibuku komplen karena namanya tak kupanggil. Dengan senyum simpul nama ibuku pun kupanggil diantara nama murid-murid yang lain.
WAFAT
Ketika cek kesehatan sebelum haji di tahun 2004 Des, lepas Tsunami barulah ibu tahu bahwa gula darahnya tidak stabil.
Hari-hari sebelum wafat ia sempat menginfakkan 20 gram gelang emasnya yang dikumpulkan dengan susah payah untuk biaya pembangunan asrama santri kami di Batam.
Namun alhamdulillah dengan penderitaan diabetes tersebut ibuku tetap segar bugar dan bertahan hingga tanggal 30 Mei tahun 2013 di Medan, pada hari itu ibuku menghembuskan nafas terakhirnya kembali pada Ilahi Rabbi untuk menuai segala kebaikan yang disemai di kala hidup.
Ya Allah rahmati ibuku sebagaimana ia mengasihi dan membesarkanku di kala kecil.
Batam, 1 Rajab 1443/3 Feb 2022
Abu Fairuz My