
Bismillah..
Dalam alam dunia ini ada dua penyakit yang menjadi sebab runtuh dan hancurnya segala sesuatu, yaitu penyakit sombong dan penyakit iri dengki.
Penyakit sombong melahirkan sifat jumawa, merasa paling hebat, paling top, paling beken di “atas angin”, sementara sifat iri melahirkan sifat tak ingin ada yang menyamainya, harus di bawahnya.
Gabungan dua sifat inilah yang akhirnya melahirkan ”barisan sakit hati” atas kebijakan yang menurutnya tak sesuai dengan kehendak hawa nafsunya.
Ketika Iblis merasa lebih senior ketimbang Adam, lebih lama hidup, lebih hebat asal penciptaannya, maka iri pada Adam, untuk kemudian membangkang pada kebijakan Allah dan perintahnya, tak mau sujud pada Adam. Efek sifat buruk ini, Iblis tak layak lagi menjadi penghuni langit, ia harus didepak dan dikeluarkan paksa dari alam atas, meluncur terperosok jauh ke alam bawah.
Dalam setiap pentas kehidupan, selalu saja sifat sombong dan iri menjadi penyebab lahirnya “barisan sakit hati”, baik dalam profesi dunia maupun profesi akhirat.
Perasaan ada pesaing baru dalam segala bab, akan mencetak generasi yang dipenuhi rasa hasad, iri, dengki dan dendam kesumat pada segala kebijakan yang tidak sesuai dengan seleranya – kecuali orang-orang yang di rahmati Allah – dan alangkah sedikitnya wujud mereka.
Perseteruan dalam berebut pengaruh, berebut kememimpinan, berebut jamaah, berebut murid, berebut kotak infak, berebut donasi, hingga mungkin berebut perempuan, adalah gambaran real tentang berhasilnya Iblis “memahat” sifat buruknya itu pada anak cucu Adam.
Sekiranya manusia tau tujuan mereka diciptakan untuk beribadah hanya pada Allah, untuk mencari ridho-Nya dan mencari negeri akhirat, niscaya takkan ada lahir “barisan sakit hati” ini.
Tapi karena miskinnya keyakinan bahwa tak ada rezeki yang tertukar, tak ada takdir yang salah tempat, tak ada jodoh yang salah letak, membuat manusia berebut sesuatu yang telah ditentukan Allah.
أَهُمْ يَقْسِمُونَ رَحْمَتَ رَبِّكَ ۚ نَحْنُ قَسَمْنَا بَيْنَهُم مَّعِيشَتَهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا ۚ وَرَفَعْنَا بَعْضَهُمْ فَوْقَ بَعْضٍ دَرَجَاتٍ لِّيَتَّخِذَ بَعْضُهُم بَعْضًا سُخْرِيًّا ۗ وَرَحْمَتُ رَبِّكَ خَيْرٌ مِّمَّا يَجْمَعُونَ [الزخرف : 32]
Apakah mereka yang membagi-bagi Rahmat Rabbmu? kami yang membagi-bagi penghidupan mereka dalam kehidupan dunia ini, dan mengangkat derajat sebagian mereka di atas sebagian lainnya, agar mereka saling membantu, memanfaatkan yang satu sama lain, padahal rahmat Tuhanmu lebih baik dari segala yang mereka kumpulkan (Q.S: Az Zukhruf: 32).
Dimana-mana selalu saja muncul barisan sakit hati, mau di pasar, di tempat kerja, di rumah, di lembaga pendidikan, lembaga dakwah, di yayasan, di partai politik, bahkan di rumah-rumah ibadah dan sarana ibadah,
Di masjid ada barisan sakit hati, di travel, di sekolah maupun tempat kerja dan begitulah seterusnya. Memanglah ambisi dunia ini bak samudera tak bertepi. Bila anda bertanya apa sebab kemunculannya, jawabnya:
pertama, karena manusia tergila-gila dengan persaingan dunia yang sempit ini, melupakan luasnya akhirat.
Kedua, berprasangka buruk pada Allah seolah Allah tidak bijak dalam menentukan keputusan, menempatkan posisi dan kedudukan manusia, menghinakan dan memuliakan sebagian orang, meninggikan dan merendahkan mereka.
Ketiga, melepaskan diri dari sempitnya ”dimensi” dunia fana ini, berimigrasi dengan ruh dan jiwanya ke alam akhirat meski jasad dan fisik masih tinggal di dunia. Orang yang berhasil lepas dari dunia yang “sumpek” Ke “akhirat” yang luas, akan melahirkan dada-dada yang lapang menerima takdir Allah, ikhlas dan rela dengan keputusannya.
Keempat, berkaca dengan sejarah, toh akhirnya, semua kan kembali pada kehendak dan ketentuan-Nya, mana wujud barisan sakit hati pada Imam Bukhari –rahimahullah– di masanya? Mana jejak rekam sepak terjang mereka? Hampir-hampir punah tak bersisa kecuali sedikit terdapat dalam buku-buku sejarah bagi siapa yang ingin menguaknya.
Lihat pula musuh-musuh Ibnu Taimiyah dan murid-muridnya, semua raib ditelah sejarah, sementara Ibnu Taimiyah dan murid-muridnya, Imam Bukhari dan murid-muridnya nama mereka “meroket” ke langit untuk menjadi “bintang” penunjuk jalan bagi orang yang tersesat.
Kelima, tak ada terapi yang paling manjur bagi penyakit iri dan dengki yang melahirkan “barisan sakit hati“ kecuali dengan merubah persepsi dan tujuan hidupmu.
Jangan pernah menjadikan dunia dan segala kemerlapnya tujuan hidup, niscaya dadamu kan menjadi lapang, hidupmu kan semakin tenang, dan akhirat menjadi jalanmu yang terang.
Katakan “selamat jalan“ pada pecinta dunia, kita berbeda level, berbeda destinasi dan berbeda motivasi.
Batam, 30 Muharam 1447/26 Juli 2025
Abu Fairuz Ahmad Ridwan My