KEUTAMAAN DAKWAH DAN DA’I
Betapa besarnya keutamaan berdakwah bila dengan niat yang lurus, ilmu yang benar, dan cara yang tepat.
Sang da’i akan terus menerus mendapatkan ganjaran pahala meski telah wafat bilamana ilmunya menjadi sebab banyak orang dapat hidayah dan beramal sholeh.
Satu orang saja mendapat hidayah dengan sebab dirinya, maka akan lebih baik baginya dari mendapatkan unta merah.
Baik mereka mengamalkan ilmu yang dia sebarkan atau tidak mengamalkannya, pahala tetap mengalir padanya.
Belum lagi profesi dakwah adalah profesi yang unlimited tiada berbatas, tanpa pensiun tanpa masa jabatan. Berbeda dengan para pejabat yang akan habis masa jabatan, konglomerat yang bisa jatuh melarat.
Cukuplah da’i sebaik-baik profesi dengan nash Alquran karena merekalah pewaris ilmu para nabi dan pengemban tugas mereka setelah para nabi wafat.
BEDA DAI DAN QADHI/ HAKIM
Bilamana ucapan da’i tidak dituntut apapun dari Allah selain menyampaikan kebenaran dan tidak menyembunyikan ilmu, maka ucapan Qadhi/hakim memiliki konsekwensi hukum dan vonis yang wajib dilaksanakan.
Qadhi/hakimlah yang memutuskan si fulan yang benar, lawannya yang salah, si fulan masuk penjara atau sifulan yang bayar denda. Maka setiap ucapan qadhi/hakim ada konsekwensi hukum yang wajib dijalankan, tidak bisa disanggah dan ditentang. Hakimlah yang menghitam putihkan, yang memenjarakan, bahkan memvonis hukuman mati kepada terdakwa.
DA’I NAMUN MERASA QADHI/HAKIM
Fenomena sebagian da’i, yang hobi menjatuhkan vonis ”sesat, ahli bid’ah, mumayyi’ (penjilat), muza’zi’ (guncang), kazzab (pendusta), sururi (pengikut Muhammad bin surur), hizbi (fanatik kelompok)“ hingga mengeluarkan sebagian orang dari barisan ahli sunnah tanpa dasar yang ilmiyah kecuali hanya tuduhan tak beralasan, tahzir berantai tak berdalih kepada sesama ahlus sunnah, tak ubahnya bagaikan seorang qadhi/ hakim yang mengetuk palu menjatuhkan vonis terhadap terdakwa.
Ya subhanallah, betapa banyak para penimba ilmu dan para ustadz bahkan para masyayikh yang tak selamat dari cercaan mereka, celaan , tuduhan dan tudingan yang kelak wajib mereka pertanggung jawabkan di hari kiamat.
Dari para dai berasa qadhi/hakim ini bahkan ada yang tak tau berbalas budi kepada guru yang mengajarinya. Sepulang dari luar negeri bukannya malah berbakti pada sang guru, sebaliknya guru di tahzir habis-habisan.
Sebagian guru, syeikh yang ditahzir bahkan ada pula yang sudah wafat, sementara tahzir masih tetap melekat tak dicabut.
Kawan, apakah layak belajar dan mengambil ilmu dari orang-orang semacam ini, menyekolahkan anak-anak di lembaga mereka?
Batam, 27 Muharram 1446/ 3 Agust 2024
Abu Fairuz Ahmad Ridwan My