
Kurang dari tiga malam aku dibangunkan oleh derasnya keringat yang mengucur sekujur tubuh efek panasnya ruangan karena listrik putus lagi.
Lepas mandi aku bersiap-siap dengan anak-anak yang akan berangkat ke Syabwah-A’taq-Madinatus Salam bersama Syeikh Walid-hafizahullah- .
Seyogyanya kami bertolak di hari Jumat naik taksi, namun Syeikh menawarkan kami untuk sabar menunggu hingga hari Ahad pagi agar dia yang langsung mengantar kami ke Markaz Syeikh Hasan Ulaywah hafizahullah dan sorenya kembali bersamaku ke Al-Mukalla, Syeikh seolah benar-benar ingin berkhidmat untuk kami, tamu-tamunya.
Manakala azan Subuh pertama dikumandangkan kamipun bertolak bersama empat pelajar dan dua murid Syeikh Walid, Akhi Abdullah Gharib dari wadi Gheil Bawazir dan Abu Ukkasyah dari Syihr. Adapun santri- santri yang kubawa untuk belajar ke Markaz di Syabhwah yaitu Muadz dan Hudzaifah – kedua puteraku- Ikrimah, dan Thariq- alumni Ma’had kita PPIT iman Syafi’i- Batam.
Sementara tiga santri lainnya yaitu: Haris, Abdurrahman dan Abbas mereka memilih belajar sementara di markaz Syeikh Awalid di Almukalla beberapa waktu untuk kemudian akan pindah dibawa Faiq- santri senior Alumni Ppit yang sudah dua tahun menetap di Yaman- ke Markaz Fiyus di Aden.
Perjalanan menuju ibukota Madinatus Salam- Ataq provinsi Syabwah ditempuh dalam 5-6 jam perjalanan. Pemandangan di sepanjang jalan, terasa asyik karena tak didapati di negeri kita.
Ada padang pasir yang terhampar luas, ada gunung-gunung batu yang lerengnya ditutupi pasir-pasir yang dibawa badai, ada rumah-rumah penduduk yang terbuat dari tanah, ada tanaman-tanaman gandum, dan banyak sekali kami temukan keledai-keledai pikuk, yang memikul galon-galon air dll.
Bila di sebelah kiri jalan membentang laut Arab dan teluk Aden, maka disebelah kanan jalan penuh dengang hamparan padang pasir dan gunung-gunung batu yang beragam warna. Di sebagian tempat aku melihat banyak tanah dan gunung-gunjng batu berwarna hitam, yang menurut info, ribuan tahun yang silam adalah bekas dari letupan gunung berapi yang wallahu a’lam kebenarannya.
Sekitar jam delapan pagi kami singgah untuk sarapan di salah satu rumah makan dengan menu teh susu, teh merah, roti nan dan telur orek-orek semacam syaksuka.
Sebelum zhuhur kami sudah memasuki kota Madinatus Salam sambil mencari-cari pengisi bahan bakar kendaraan kami yang sudah menipis. Mobil Syeik Toyota Noah ternyat berbahan bakar gas dan bensin. Bilamana gas habis masih bisa menggunakan bensin untuk sampai ke tempat penjualan gas. Bagiku sudah keren juga nih Yaman karena sudah punya kendaraan roda empat berbahan bakar gas yang diletakkan di belakangnya yang masih belum kutemukan di Indonesia. Kalau di Johor Malaysia sudah biasa kulihat taksi-taksi berbahan bakar gas.
MARKAZ DI SYABWAH
Sekitar jam 12 kurang kami tiba di markaz Syabwah disambut dengan hangat oleh warga markaz. Dari anak—anak hingga orang tua berbaris tersenyum menyapa kami dengan bahasa Indonesia yang telah mereka hafalkan dari Zainur-salah seorang murid senior kita yang sudah setahun lebih di sana. Tanpa ragu mereka mengucapkan dengan ala kadarnya: ”selamat datang kawan-kawan”.
Markaz Syabwah terletak sekitar jarak satu kilometer dari jalan Raya. Ia terletak di tengah perkampungan yang jarang penduduknya di semi padang pasir.
Dari sisi dunia memang tidak menarik bangunan asrama maupun masjidnya, penuh dengan kebersahajaan namun terasa padanya aura keikhlasan dan keberkahan untuk para penimba ilmu.
SELURUH MARKAZ GRATIS
Diantara bentuk keutamaan yang jarang kulihat di negeri kita, bahwa seluruh kegiatan belajar mengajar dan asrama serta makan para pelajar yang mukim di sana gratis tak berbayar alias free.
Kau bandingkan saja dengan sekolah-sekolah kita di Indonesia, ma’had-ma’had kita yang kebanyakannya berbayar dan tidak gratis. Berbagai iuran yang kita harus siapkan untuk yang namanya uang gedung, uang pangkal, uang pendaftaran, uang buku, uang baju seragam, uang ekstra kulikuler, uang peningkatan mutu dan seabrek uang tetek bengek lainnya yang tak bisa kusebutkan satu persatu.
Belum lagi sebagian sekolah yang memasang tarif mahal dengan segala fasilitas mewahnya, ini semua tidak ada di Yaman.
Lalu darimana biaya operasional mereka? Wallahu a’lam aku tak mengetahui sepenuhnya, namun yang jelas sebagian besarnya didapat dari donatur dan para muhsinin.
Aku kagum dengan keikhlasan mereka menyambut penimba ilmu yang tidak dipungut biaya apapun di sana. Padahal dari sisi pembelajaran dan para pengajar aku jamin mereka jauh lebih baik dari kita kapasitas keilmuannya.
Para guru dan masyaikh di sana sangat mumpuni dalam mengajar, menguasai materi ilmu-ilmu keislaman yang dalam dan boleh jadi mereka tidak bergaji sama sekali, karena mereka kulihat punya maisyah/usaha sendiri sendiri untuk mencukupi kebutuhan keluarga mereka.
Memang kulihat kehidupan para guru dan masyayikh disana jauh dari kesan mewah, bergelimang harta benda, dengan segala rumah dan kendaraan mewah, hal itu tidak kulihat pada mereka.
Sejujurnya rakyat Yaman taraf ekonominya masih jauh sekali dari taraf ekonomi masyarakat kita. Sepanjang jalan banyak sekali kulihat orang-orang dengan baju kumuh dan usang karena dimakan zaman.
Tapi kehidupan beragama mereka, kezuhudan mereka terhadap dunia, jauh lebih baik dari negeri kita dengan segala glamour dan hedonisnya.
Senyum, salam dan sapa sudah menjadi keseharian mereka, apalagi semangat membantu dan kekeluargaan mereka begitu melekat dan membudaya. Dimana saja kau temukan orang di jalan kan selalu senyum dan menyapa meski dengan melambaikan tangan.
Terkadang kefakiran dan kemiskinan membuat manusia lebih memanusiakan manusia dengan sahajanya ketimbang kekayaan, kekuasaan dan kemewahan yang lebih dekat pada kesombongan, keangkuhan dan egoisme ke akuan dan kurang memanusiakan manusia.
KAJIAN DI MASJID MARKAZ
Selepas zhuhur aku diminta Syeikh Hasan menyampaikan satu dua patah nasehat kepada jamaah yang sebagian besarnya adalah penimba ilmu.
Dalam kajian singkat itu ku sampaikan tentang pentingnya menjaga waktu dan memahami bahwa musuh yang paling utama itu adalah diri sendiri, sebelum musuh-musuh lainnya berupa syetan, kaum kafirin, munafiqin dan fasiqin.
Siapa yang mampu bermujahadah menaklukkan dirinya untuk menggunakan waktu sebaik-baiknya dalam belajar menimba ilmu, mengamalkan, mendakwahkan ilmu serta sabar dalam semua proses tersebut dan tetap istiqamah dia kan menjadi pemenang di dunia dan akhirat, bila tak mampu menguasai diri yang cenderung malas, berleha-leha, ingin buat maksiat dan doaa maka ialah yang akan menjadi pecundang, sampah hidup di dunia dan akhirat.
Berapa banyak para penimba ilmu yang larut dan hanyut dalam arus gadged, hp, game, medsos, dll hingga akhirnya tak sadar sudah hidup di luar negeri bertahun-tahun namun pulang tak membawa bekal ilmu yang dia sia-siakan dan terlantarkan.
Selepas ashar kajian di isi oleh Syeikh Walid Abu Khalid Maqram yang berbicara tentang buah dari iman dan jalan meraih ridho Ar-Rahman.
Setelah itu kamipun izin bertolak pulang karena lepas maghrib Syeik Walid punya jadwal untuk mengisi di Masjid Birril Walidain di kota Azza yang berjarak tiga km dari Al-Mukalla.
Lumayan panjang perjalan kami pulang balik yang menempuh perjalanan lebih dari 12 jam dan hanya istirahat sebentar lepas makan siang di markaz.
Lepas aku dan syeikh memberikan kajian di masyarakat, kami dan rombongan dijamu untuk bersantap makan malam bersama jamaah.
Tepat disampingku duduk Syeih Said An-Nahwi (ahli ilmu nahwu) pengajar kitab-kitab Nabwu mulai dari Al-Ujrumiyah, Qatrun Nada hingga Syarh Ibnu Aqil untuk Alfiah ibnu Malik.
Namanya “An-Nahwi” yang awalnya kukira nisbat kepada suku atau kerabatnya, ternyata kata itu adalah gelar pemberian Syeikh Muqbil Al-Wadi’i ketika di Dammaj karena ia selalu menjawab pertanyaan Syeik tentang Nahwu.
Senang berkenalan dengannya, karena adanya kesamaan hobi kita menyenangi pelajaran Nahwu, ada beberapa kalimat yang dia minta aku i’rab kan. Perbincangan kami menjadi lebih akrab.
Pukul 01.30 dinihari kami tiba di Markaz Syeikh Jami Urwatul Wusqa untuk kemudian istirahat sebentar. Besok pagi jam 05.30 aku dijadwalkan berangkat kembali ke Saudi insyaallah.
Bersambung…
Yaman- Saudi
27 Rabiul awwal 1446/ 30 Sept 2024
Abu Fairuz Ahmad Ridwan My