Senja di Padang Arafah – bag 2

SENJA DI PADANG ARAFAH
Kisbung (kisah bersambung) bag 2

DI KAMPUNG

Kampung halamanku adalah Kampar negeri Melayu. Ia dilalui Sungai Siak yang meliuk-liuk bak naga besar yang muaranya ke laut menjadi sebab masuknya kapal-kapal layar, kabarnya dahulu pernah menghubungkan antara kerajaan Malaka dan Kampar. Disebutkan bahwa Sultan Melaka terakhir -Mahmud Shah- setelah jatuhnya Bintan tahun 1526 ke tangan Portugis, melarikan diri ke Kampar, dua tahun berikutnya mangkat dan dimakamkan di Kampar. Konon juga di negeri ini pernah berdiri kerajaan Melayu yang memiliki hubungan dengan penguasa Minangkabau.

Suku yang mendiami negeri kampar mayoritasnya adalah suku melayu “Ocu” yang menurut sebagian orang adalah asal-usul munculnya suku Minang. Apalagi melihat kedekatan bahasa dan budaya antara keduanya menunjukkan adanya hubungan dekat antara kedua suku ini. Penyebutan “orang siak ” dalam bahasa minang yang berarti orang ahli ibadah dan berilmu, konon terambil dari sebutan para da’i dan penyeru agama yang masuk ke Minang dari alim ulama negeri siak pada masa kejayaan Melayu. Mereka datang menelusuri sungai Siak hingga tiba di daratan Limapuluh Koto dan terus berjalan hingga ke istana Pagaruyung di Batu Sangkar. Adapun versi Suku Minang bahwa merekalah nenek moyang Suku ocu, karena dahulu kala daerah kampar takluk kepada kerajaan Pagaruyung, wallahu a’lam kebenarannya.

Sudah lebih satu minggu ibuku membujukku agar segera menikah. Keinginannya agar acara walimahanku dipercepat. Dua minggu setelah acara walimah abang, agar para kerabat yang datang dari Malaysia dalam resepsi abangku dapat menetap di kampung hingga acara walimahanku selesai. Dengan demikian mereka tidak perlu datang dua kali ke Indonesia, ibarat pepatah “sekali berlayar dua tiga pulau tersinggahi”.

Setiap dengar ocehan ibuku, aku hanya sambut dengan tersenyum dan sambil berkata pelan: “belum siap bu, aku belum memiliki kemampuan sekarang”.

Ibu menjawab: “Kami akan tanggung semua biaya pernikahanmu, maharmu, hantaran, rumah dan nafkah dua bulan setelah engkau menikah, tak perlu khawatir. Lihatlah ibumu yang telah renta ini, rasanya tidaklah nyaman bila ku mati sebelum menunaikan kewajibanku untuk menikahkanmu”.

Sebenarnya dalam hati kecilku yang dalam, alangkah ingin membuat ibuku bahagia, menikah dalam waktu dekat, seperti keinginannya, namun perkara jodoh bukanlah seperti membeli “kacang goreng”, kapan mau langsung dapat.

Bak kata orang Jawa, dalam memilih jodoh harus dilihat dulu “bibit, bebet,dan bobot nya”. Bukannya tak mau menikah, tapi siapa yang bakal menjadi pendamping hidupku kelak yang setia menemaniku dalam suka dan duka, bidadari yang kuharap kelak menjadi pasanganku di negeri akhirat sana..? Aku tidak ingin sembarang “comot” yang akhirnya menuai penyesalan yang berkepanjangan.

Tidak sedikit kulihat kegagalan sebagian orang dalam memilih pasangan hidup. Menikahi Istri-istri yang menjadi penghalang kebaikan bagi suami, yang melalaikan dan membuat suami lemah untuk berkhidmah bagi agama. Aku tidak ingin hal itu menjadi bagian dari episode hidupku kelak.

Merasa terdesak, dan hujjahku patah akupun berkata pada ibu:  “duhai ibu, Putramu ini bukannya menolak keinginanmu, tapi aku belum memiliki calon, carikan untuk ku gadis yang sholehah, semoga saja aku berjodoh dengan pilihan ibu”.

Ibu senang dipercayakan untuk mencarikan jodoh bagi puteranya yang miskin pengalaman dalam hal wanita ini. Jangankan berpacaran, bersalaman dengan lawan jenis saja tidak dia lakukan.

Betapa cepatnya hari-hari berganti, tak terasa sudah satu minggu ibuku berkeliling kampung, bagaikan “detektif swasta” mengumpulkan data-data anak gadis kampungku, melirik, memantau, melihat, mengamat-amati hingga bertanya semua dilakukan ibu. Rasanya tidak ada lagi gadis yang “imut-imut” kecuali telah terpantau olehnya.

Setelah data terkumpul, mulailah ibuku mengolahnya, menyaring dan menjaring, seleksi demi seleksi ia lakukan, tibalah waktunya untuk mempresentasikan para calonnya di hadapanku.

“Bagaimana menurutmu si fulanah…? Orangnya baik lho, wajahnya pun lumayan, masih berdekatan dengan kita, tidak perlu jauh-jauh jika pulang kampung. Katanya ia juga “sreg” denganmu…bla…bla..bla..”ibuku mulai berceloteh. Satu demi satu calon dipresentasikan ibu di hadapanku dengan baik. Adapun aku hanya menjadi “pendengar setia” sambil manggut-manggut.

Itulah kegiatanku di kampung seminggu pertama kedatanganku. Tiada hari tanpa membicarakan jodoh. Setiap ibu menawarkan calon-calon menantunya padaku, semuanya kandas membentur dinding kebebalanku.

Waktu liburan semangkin dekat berakhir, pembicaraan tentang acara pernikahanku pun buntu tiada berkelanjutan. Misi liburanku gagal seluruhnya. Mimpi tentang gadis Thailand buyar dan petualanganku batal.

Sebentar lagi kaki ini kan menginjak di bumi Kaum Muhajirin dan Anshar, kembali untuk menatap ketegaran Uhud dengan pesonanya. Gunung yang menjadi saksi abadi atas kekalahan kaum muslimin disebabkan menyelisihi perintah baginda Rasul. Jabal rumat itu tak kan pernah hilang menjadi saksi sejarah turunnya pasukan pemanah ketika melihat harta rampasan perang ditinggalkan musuh dan datangnya pasukan Khalid memukul mereka dari arah belakang. Kemenangan yang hampir ditangan berganti dengan kekalahan.

Aku kan kembali ke kampus, bertemu dengan para mahasiswa dari puluhan bahkan ratusan bangsa-bangsa dunia, kembali dengan memakmurkan perpustakaan yang memuat puluhan ribu kitab-kitab turast dari zaman ke zaman, kembali fokus untuk memulai menggarap tesisku.

Ya Allah …mungkin belum saatnya aku menikah tahun ini, entahlah tahun depan-jika masih ada umur- mungkin mimpiku menjadi nyata. Alangkah bahagianya….

PERTEMUAN YANG MENDEBARKAN

Entah mengapa, di penghujung liburan ini, memori lamaku kembali bekerja memutar ulang hari-hari yang lalu, di masa liburan 2-3 tahun yang silam ketika aku masih duduk di bangku perkuliahan S1.

Sudah menjadi kebiasaanku bila liburan datang, mengunjungi rekan-rekan lama yang dulu nyantri bareng di Pesantren. Kembali reuni dan bernostalgia, mengulang segala pengalaman pahit dan indah tatkala nyantri.

Sebelum studi di Ma’had LIPIA dan belajar di Madinah University aku memang menghabiskan masa puber dan mudaku di pesantren tersebut. Disitulah kami mulai belajar bahasa Arab dan ilmu-ilmu keislaman. Persahabatan di dunia pesantren adalah persahabatan yang begitu kuat dan kokoh, bahkan terkadang mengalahkan hubungan pertalian darah. Bagaimana tidak, dengan para santri itulah aku merajut hari-hari indah dalam menimba ilmu. Aktivitas belajar, makan,minum, olah raga, bermain, berpetualang dan tidur…semua kujalani dengan mereka. Merekalah teman sekamar dan teman tidurku.

Aku memiliki seorang teman akrab tatkala di pesantren. Ketika masih nyantri aku sudah biasa tidur-tiduran di rumahnya bahkan kedua orang tuanya juga sudah kuanggap bagai orang tuaku sendiri. Di rumahnya aku merasa tidak canggung lagi.

Setelah tamat pesantren temanku itu berwira swasta membuka usaha jual beli kendaraan bermotor. Ia punya showroom sendiri untuk memasarkan berbagai tipe motor yang dijual dengan harga cash maupun kredit.

Siang itu aku berjanji untuk bertemu dengan salah seorang teman di simpang jalan yang kami sepakati. Siang itu hari lumayan panas membuat keringat mengucur deras setiap orang. Sambil menunggu, aku didatangi sahabat karibku yang ternyata melihatku berdiri menunggu seseorang di depan showroomnya. Ia memanggilku dan mempersilahkanku masuk ke showroomnya untuk berteduh.

Aku senang bertemu dengannya, sahabatku lamaku di pesantren yang kini telah menjadi pengusaha sukses. Kulihat banyak motor-motor yang dipajang di showroomnya.

Tanpa ragu aku melangkah masuk ke dalam showroomnya, niat hati ingin meminjam sejenak telephone untuk menghubungi teman yang kutunggu. Setibanya di dalam…..
Masyaallah, aku melihat di meja kasir ada seorang wanita cantik berjilbab lebar, duduk begitu anggunnya. Hatiku berdegub keras tak menentu, nafasku turun naik, dan ada sesuatu goresan hati yang tak dapat kulukiskan dengan kata-kata, melintas dan menghujam. Segera aku tinggalkan ruangan tersebut dan menemui sahabatku. Aku tak kuasa menahan diri untuk mempertanyakannya tentang sosok makhluk yang duduk dengan anggunnya di meja kasir itu. Ternyata wanita itu adalah adik kandung temanku sendiri yang selama ini tidak pernah kutau. Meskipun aku selalu berkunjung ke rumahnya dikala liburan dan hampir mengenal semua keluarganya, namun yang satu ini luput dari pengetahuanku.

Ia memang tidak melihatku, tapi aku sangat jelas melihatnya. Setibanya di rumah aku beristighfar berkali-kali memohon ampunan Allah dan berupaya menghapus bayangan itu yang begitu cepat membekas dalam hatiku.

Kesibukan perkuliahan di kampus berhasil menghapus segala ingatan tentangnya. Namun ketika aku di desak ibu untuk menikah kali ini, dan setelah semua calon ibu ku tolak, entah mengapa wajah itu kembali berkelebat di alam fikiranku. Subhanallah..

Bersambung….

Batam, 24 Zulhijjah 1437/ 26 Sept 2016

Abu Fairuz Ahmad Ridwan My