Islam itu ibarat sungai yang begitu jernih hulunya, namun semakin jauh ke hilir semakin banyak kotoran yang merubah kejernihannya.
Apa-apa yang dahulu menjadi bagian dari ajaran Islam, tradisi dan ijma salafus sholeh, kini menjadi seolah-olah sesuatu yang asing tak dikenal oleh kaum muslimin, bahkan dianggap bukan dari ajaran Islam. Orang yang menyampaikannya akan siap dibulli, diejek, dihina sekalipun ia bawa segudang dalil dari Quran dan sunnah yang sahih, ijma generasi salaf terdahulu.
Bila seseorang dinobatkan menjadi ulama, maka dibangun “image” apapun yang dikatakannya harus ditaati ummat, tidak boleh diselisihi dan ditentang. Meski hakikatnya ia tergelincir menyelisihi prinsip-prinsip ahlus sunnah waljama’ah, menggiring ummat pada kehancuran, pertumpahan darah, dan tercerai-berainya ikatan ukhuwwah Islamiyah antara sesama kaum muslimin.
Inilah ku nukil sikap ulama salaf terdahulu terhadap seseorang yang menyelisihi satu prinsip ahlus sunnah wal jamaah, semoga bisa menjadi pelajaran bagi kita agar tidak tergelincir.
Namanya Alhasan bin Sholeh ibn Hayy al-Hamadani (wafat 169h). Ia sosok Alim ulama yang zuhud, wara’ dipenuhi dengan rasa takut pada Allah, pemilik hafalan ribuan hadis, kuat hafalan dan begitu mudah meneteskan air mata karena takut pada Allah.
Hidup sezaman dengan ulama-ulama salaf semisal Sufyan at-Tsauri dan lain-lain. Menurut Abu Hatim ar-Razi -yang terkenal ketat dalam mengoreksi pembawa hadis- bahwa Alhasan bin Sholeh al-Hamadani ini termasuk dalam rombongan perawi hadis yang tsiqah, pemilik hafalan yang kuat.
Pernah seseorang memintanya untuk menerangkan kaifiat memandikan jenazah, ia malah menangis tersedu-sedu merasa diingatkan pada kematian.
Banyak ulama yang memuji sifat khusyuknya, berkata tentangnya seorang ulama yang bernama Abu Sulaiman Ad-Darani; ”tak pernah tampak bagiku orang wajahnya lebih dipenuhi rasa takut dan khusyuk dari Al-Hasan bin Sholeh.
Lebih menakjubkan lagi dari dirinya adalah sifat qona’ah dan zuhudnya, ia pernah bertutur tentang dirinya; ”terkadang dikantongku tak ada sepeser uang dirhampun namun kurasa dunia menjadi milikku”.
Sifat jujurnya juga sangat mengagumkan, pernah ia menjual seorang budak wanita miliknya kepada seseorang, khawatir dianggap tak jujur dan menipu maka ia berterus terang pada pembeli dan berkata: ”budakku ini pernah mengeluarkan dahak yang bercampur darah dahulu”.
Pernah diceritakan tampak diraut wajahnya ketakutannya yang bersangatan dari azab Allah tatkala mendengarkan ayat yang dibaca tentang azab, sehingga wajahnya menjadi pucat pasi.
Ia terkenal dengan sholat malamnya yang panjang semasa hidupnya, ia membagi malam nya menjadi tiga bagian, untuk ibunya, adiknya dan untuk ibadah bagi dirinya. Tatkala ibu dan adiknya wafat, maka seluruh malamnya ia gunakan untuk ibadah.
Berkata Abu Zur’ah Ar-Razi memujinya; ”Ia sosok yang mengumpulkan sifat itqan (tekun dan teliti) ahli fikih? Ahli ibadah plus ahli zuhud”
Begitu banyak pujian dan sanjungan ulama salaf atas kebaikannya, namun…….
Para ulama sepakat menyatakannya sebagai Ahlu bid’ah dan memperingatkan ummat dari bahaya dirinya.
Ada yang menolak seluruh riwayat hadis darinya, bahkan dengan keras mencelanya, berkata Ahmad bin Yunus sebagaimana yang telah dinukil imam Ahmad bin Hambal; ”alangkah indahnya sekiranya Alhsana Bin Sholeh itu tidak pernah dilahirkan ke muka bumi ini”.
Kira-kira tahukah anda mengapa sepakat ulama menolaknya dan mengabaikan segala kebaikan dalam dirinya?
Menolak segala riwayat dari dirinya?
Mengingatkan orang untuk waspada tidak mengambil ilmu darinya?
Jawabnya hanya karena ia membolehkan memberontak pada penguasa yang zalim, sekedar itu saja, padahal ia tidak memberontak, hanya sekedar mengeluarkan fatwa boleh memberontak.
Berkata Imam Zahabi tentangnya: ”Ia membolehkan memberontak terhadap penguasa zalim di zamannya, meski ia tidak terlibat pemberontakan”.
Berkata Imam Az-Zahabi: ”ia (Alhasan bin Sholeh) adalah salah seorang ulama besar dalam Islam, sekiranya ia tidak tergelincir dalam bid’ah membolehkan memberontak (pada penguasa muslim)”.
Kisah diatas mengajarkan kita sesatnya fatwa yang membolehkan memberontak pada penguasa zalim. Tidak ada basa-basi dalam hal ini, meskipun orang yang berpendapat tersebut terkenal keilmuan dan kesalehannya, zuhud dan wara’ nya.
Para ulama salaf menimbang seseorang bukan hanya dari sisi kepiawaiannya dalam ilmu agama, taatnya dalam ibadah, kuatnya sholat malam dan lembutnya hati mudah meneteskan air mata, tetapi ditimbang dengan cara beragamanya yang lurus dalam mengikut jejak para salaf, bahkan mereka tak ragu-ragu mengeluarkan seseorang dari ahlus sunnah hanya karena menyelisihi satu prinsip dasar dalam Islam.
——————
Johor Baharu – Batam, 11 Ramadhan 1440/ 16 Mei 2019.
Abu Fairuz My.