Perjalanan Ke Negeri Yaman (Bagian 4)

SAUDI DAN MODERNISASI

Sholat subuh di dekat perbatasan kami diimami tentara Saudi, yang bacaannya lumayan bagus..subhanallah diantara kenikmatan safar di negeri tauhid ini. Bus wajib berhenti di setiap waktu tiga waktu sholat dan dimana-mana tersebar mushola .

Sepanjang jalan tak pernah terlihat gereja, kuil, vihara dan tempat ibadah agama lainnya. Murni negeri tauhid ini steril dari simbol peribadatan kepada selain Allah. Tak ada patung, tak ada berhala, tak ada pemandangan perempuan-perempuan berbaju seksi, walhamdulillahi rabbil Alamin.

Memang ada juga terlihat upaya kaum sekuler merubah haluan negeri ini sedikit demi sedikit untuk meninggalkan prinsip-prinsip Islam yang sudah membudaya dan mendarah daging. Tampak sedikit efek dari apa yang mereka buat itu . Atas dasar emansipasi dan desakan gaung gender international, mereka berhasil mengeluarkan kaum wanita menjadi pekerja-pekerja di sektor-sektor umum, dan keberhasilan mereka membuat kaum wanita diizinkan menyetir kendaraan sendiri dengan sejumlah syarat yang ketat, bahkan musik-musik instrumen telah pula terdengar di bandara international Jeddah kemarin -Allahul musta’an- tetapi sejujurnya masih dapat kita katakan bahwa kebaikan negeri ini lebih mendominasi dari keburukan yang ada di banding negeri-negeri kaum muslimin lainnya yang ku ketahui.

Kemungkaran jual beli alkohol, cafe-cafe, bar dan diskotek-diskotek masih belum dapat diterima mayoritas warga yang sudah kental dengan budaya dan adab-adab Islam.

Suasana di bus-bus, rumah makan dan restoran masih terlihat jelas dimana mereka memisahkan kaum lelaki dari kaum wanita. Khusus kaum wanita dan keluarga selalu diberi tempat khusus dari pria. Tak ada sedikitpun terdengar ketawa cekikikan wanita, apalagi interaksi bebas dengan pria, semua masih terjaga walhamdulillah.

HINGAR BINGAR RESTORAN PINGGIR JALAN

Pagi ini kami makan menu teh lipton dan bubur ma’sub (campuran tepung, pisang, dan kacang-kacangan) di salah satu restoran.

Sebagian anggota grup kami merasa aneh dengan suara hingar-bingar pelayan restoran yang membawakan menu pesanan ke para pembeli.

Bagi orang yang baru pertama datang mengira para pelayan itu sedang berdebat dan berkelahi dengan para pelanggan, karena suara mereka yang hingar bingar bak orang sedang marah-marah. Maka kukatakan hal itu sudah lumrah di arab, mereka tidak sedang marah, menurut mereka itu hal yang wajar dan dianggap sudah menjadi standar operasional mereka. La haula wala quwwata illa billah.

Baru sekejab menikmati menu “ma’sub” tiba-tiba pak supir suruh kami cepat-cepat karena bus mau berangkat, terpaksa menu lezat tersebut tak sempat kami habiskan karena bus sudah mulai bergerak mundur.

PERBATASAN SAUDI-YAMAN

Setelah menunggu sekitar setengah hingga satu jam, kami pun bergilir untuk cop pasport keluar dari wlilayah perbatasan Saudi -Manfaz al Wadeeah- menuju imigrasi masuk perbatasan Yaman.

Kata kawan yang biasa lewar jalur ini bahwa antrian kami ini terhitung cepat, sebab di musim Ramadhan konon kabarnya mereka ada yang ngantri masuk Saudi menunggu sampai lima hari karena banyaknya penziarah yang datang.

Lepas dari keimigrasian Saudi kami masuk ke Imigrasi Yaman di wilayah Al ‘Abr – Hadramaut. Terpampang ucapan selamat datang di terminal Alwadiah Al-Barri”.

PERBEDAAN DUA NEGARA TETANGGA YANG BEGITU MENYOLOK

Bila melintas daerah sepanjang wliayah saudi matamu dimanjakan dengan berbagai bangunan yang teratur, jalan highway yang mulus, pom bensin yang lumayan apik serta sampah yang hampir-hampir tak terlihat dimana-mana, maka setibanya di Yaman kau kan melihat bangunan-bangunan yang sudah usang, sampah-sampah di sepanjang jalan yang berserakan, dan jalan yang tak semulus di Saudi.

Bagaikan siang dan malam, kira-kira begitulah gambaran dua negara yang bertetangga dan sebenarnya sama-sama kaya minyak ini.

Konflik internal selalu membuahkan ketidakmakmuran suatu negeri, merosotnya ekonomi, inflasi, macetnya pembangunan infra struktur mereka. Kefakiran, masalah pengangguran, masalah pengungsi dan lain-lain adalah hal yang selalu hadir di negeri konflik.

Sekitar dua jam kami antri dari satu imigrasi ke imigrasi lainnya dan setelah itu kami pun melanjutkan perjalanan menuju Al-Mukalla, ibukota Hadramaut.

Dalam google map kulihat perjalanan menuju Mukalla hanya 22 jam saja, tetapi realnya dengan istirahat, sholat, makan, chek point ternyata memakan lebih dari 30 jam, sungguh perjalanan darat yang sangat melelahkan, dan menjenuhkan.

Apalagi jalan menuju Al Mukalla banyak melewati medan perbukitan yang curam dan penurunan yang ekstrem. Bila perbukitan di negeri kita indah dan sejuk maka bukit-bukit yang kita lalui adalah bukit batu cadas yang keras, kering dan panas tak berpohon.

RUMAH-RUMAH DARI TANAH

Melewati perbuktian Dau’an pemandangan rumah-rumah yang bertingkat-tingkat terbuat dari tanah sungguh menarik perhatian.

Kau bayangkan saja rumah tiga hingga empat tingkat dibangun dindingnya tanpa menggunakan batako dan semen, melainkan dibangun dengan tanah liat yang begitu tebal dan kokoh menyamai batako bahkan lebih tebal darinya.

Tanah di Dau’an dan desa tinggi Hijrain memang cocok untuk membangun rumah dan kokoh, tetapi ternyata tak semua tempat bisa dibangun dengan tanah liat . Di Al Mukalla contohnya, tidak akan kita dapati rumah-rumah dari tanah liat, semua dari batako dan semen karena tanahnya memang tidak bisa digunakan untuk bangunan dinding rumah.

Menurut mereka, rumah-rumah dari tanah liat itu lebih akrab dengan perubahan iklim cuaca yang tidak bersahabat. Bila musim panas di dalam rumah kan tetap sejuk karena panas matahari tertahan dengan tanah liat tersebut, sebaliknya bila datang musim dingin maka dalam rumah itu kan menjadi hangat karena udara dingin tak mampu menembus ke dalam dinding tanah liat tersebut.

Meskipun dari luar terlihat rumah-rumah ini biasa-biasa saja tampilannya terkesa sudah kuno, namun bila kau masuk ke dalamnya, subhanallah… dalamnya sama seperti rumah -rumah lainnya, berlantai keramik, dan dinding bersemen atau berbahan keramik pula.

Rumah-rumah di dau’an banyak yang terletak di atas perbukitan, tersusun rapi bagaikan benteng-benteng kokoh peninggalan dari peradaban kuno yang masih tetap eksis terjaga. Udaranya segar dan daerahnya bersih sehingga membuat banyak orang tertarik untuk mendatanginya. Apalagi Madu Sidrnya adalah madu berkwalitas tinggi dan harga yang lumayan mahal.

Setibanya di Yaman, jaringan Hp ku pun terputus. Hal itu sudah ku ketahui sejak di Indonesia bahwa jaringan untuk paket umrah 17 hari sebanyak 20 Gg hanya mampu mencover daerah transit seperri Malaysia, Singapura, Abu Dhabi dan Saudi Arabia saja, tidak untuk Yaman sebagai negeri konflik.

Bus kami yang dilengkapi dengan Wifi pun ternyata terbatas mengcover wilayah Saudi Saja tidak untuk Yaman.

Jam sudah menujukkan jam 19.50 malam waktu setempat, namun kami tak kunjung sampai di Ibu kota Al-Mukalla, dan bus baru menurunkan penumpang di kota kecil Wadi Ghail Bawazir, artinya satu jam lagi akan tiba di ibu Kota, sementara kami belum sholat maghrib dan Isya dan belum pula makan malam, padahal perut sudah mulai keroncongan dan anak bayi yang digendong ibunya selalu menagis karena perjalanan panjang yang melelahkan kami orang dewasa apalagi bayi sepertinya.

MASALAH TRANSPORTASI UDARA

Transportasi udara di Yaman memang masih masalah besar, sehingga tak ada pilihan bagiku yang dapat menggantikan jalan darat. Bandara yang minim dan maskapai penerbangan yang jarang membuat aku terpaksa memutuskan untuk pergi dengan jalan darat.

Ku dengar bandara Ar-Royyan sudah dibuka untuk penerbangan dari Al-Mukalla ke Jeddah, namun sayangnya hanya seminggu sekali di tiap hari sabtu dan dengan harga selangit, berkisar antara 350 hingga 400 Dolar US, sama atau lebih mahal dari tiket Saudia yang kubeli dari Madinah ke Kuala Lumpur. Namu tidak pas juga dengan jadwal acaraku.

Ada juga bandara Saiyun dan Aden yang setiap hari memberangkatkan penumpang, tetapi untuk jurusan Kota Cairo Mesir saja, itupun hanya satu kali penerbangan perhari.

Kabarnya seluruh Yaman hanya ada tiga pesawat saja dari maskapai “Yamania” milik pemerintah. Allahul musta’an.

TIBA DI TEMPAT

Malam hari pukul 21.30 bus kami tiba di Al-Mukalla, dan ternyata di tempat pemberhentian bus kami, pengurus markaz telah menunggu kedatangan kami sejak ashar atas perintah Syeikh.

Setelah kemas-kemas barang, kami pun dibawa ke markaz dan telah ditunggu-tunggu para penimba Ilmu di sana.

Markaz Urwatul Wushqa, didirikan sekitar tiga tahun Silam, dan ia di bawah asuhan Syeikh Walid Abu Khalid Maqram-hafizahullah- sebagai salah satu murid-murid Syeikh Muqbil Rahimahullah.

Dulu dia mengabdi sebagai tenaga pengajar di Markaz Syihr, dan kini markaz di Al-Mukalla di bawah asuhan Syeikh yang ramah, lembut dan penuh ketawadhuan ini.

TAUSIYAH SELEPAS SUBUH

Lepas Subuh saya diminta Syeikh untuk menyampai sepatah dua kata pesan dan tausiyah untuk jamaah dan para penimba ilmu. Walhamdulillahi rabbil Alamin.

Diantara pesan yang kita sampaikan seputar keutamaan ilmu dan para ulama, bagaimana Allah mengangkat derajat para ulama sebagi pewaris para Nabi seoanjang zaman.

Nama Imam Abu Hanifah, Malik, Syafi’i dan Ahmad harum dikenang tak lekang ditelan masa, diangkat Allah dan dikekalkan pujian, sanjungan dan doa manusia untuk mereka, sementara nama-nama orang kaya, pejabat, penguasa yang hidup bersama dan semasa dengan mereka hapus terkikis ditelan zaman.

Tak ada lagi orang tau dan menyebut siapa saja yang pernah menjadi pejabat, konglomerat, aparat dan hartawan di zaman itu. Namun yang jadi sebutan manusia adalah nama-nama para ulama sepanjang zaman.

Betapa ilmu mengangkat pemiliknya bahkan dikalangan hewan sekalipun, Allah angkat derajat anjing pemburu yang berilmu dibanding anjing yang tidak diajarkan berburu, dimana Allah halalkan hasil tangkapan hewan buruan dari anjing pemburu yang disebut nama Allah ketika melepasnya dan Allah haramkan memakan hewan hasil tangkapan anjing bukan pemburu.

Pesan terakhir agar para pelajar bertakwa pada Allah dan menjaga waktu mereka, tidak menyia-nyiakan waktu dengan apapun juga yang menjadi penghalang fokus mereka.

Ku pesankan kepada mereka agar jangan terfitnah dengan handphone yang dewasa ini menjadi penghalang terbesar bagi pelajar untuk sukses menjaga waktu mereka. Betapa berbagai game dan sarana media sosial membuat larut dan hanyut para pelajar hingga akhirnya gagal menimba ilmu dan tidak berhasil pulang ke negerinya membawa bekal ilmu.

MURID-MURID DI MARKAZ

Di Markaz ini ada belasan murid-murid dari berbagai kota di Indonesia dan murid-murid Yaman dari berbagai tempat pula.

Semua ramah-ramah dan bersahabat menyambut kami dan menjamu kami dengan penuh khidmat.

KOTA AL-MUKALLA

Kota ini dianggap kota yang padat penduduk dibandingkan dengan kota lainnya di Hadramut. Ia berhadapan langsung dengan Laut Arab yang membentang seluruh tepian wilayahnya.

Di sore hari kita melihat banyak para pengunjung yang datang untuk refreshing menikmati indahnya pantai laut Arab
Ini.

Di pagi harinya selepas sarapan ringan kami dan seluruh pelajar turun berenang dan mandi-mandi sambil mencari kepah yang banyak di sembunyi di bawah pasir-pasir pantai .

Laut Arab adalah lautan lepas yang membentang luas membuat ombaknya tinggi dan besar-besar. Namun bagi kami menjadi kenikmatan khusus bermain-makn di bawah gulungan ombak-ombak yang datang memecah pantai tersebut.

Sepulang berenang kami memasak kepah hasil tangkapan kami dan menyantapnya bersama dengan indomie favoritnya anak-anak yang sudah dibubuhkan sambal terasi yang mereka bawa dari tanah air.

Bersambung…

Al-Mukalla 24 Rabiul Awwal 1446/27 Sept 2024

Abu Fairuz Ahmad Ridwan My