Sebening embun hidayah menyapa diriku yang terlahir dan besar dilingkungan kaum Nashrani. Bagaikan dedaunan yang kotor berdebu,ia menjadi bersih terkena terpaan embun pagi,begitu jugalah diriku ini yang hampir-hampir binasa terjatuh dalam jurang kekufuran.
Aku terlahir dari seorang Ayah yang muallaf beragama Nasrani. Ibuku dari Jawa Barat. Dari hasil pernikahan tersebut aku memiliki seorang adik laki-laki. Tapi entah mengapa-aku juga tidak begitu paham- ibuku lari meninggalkan kami setelah melahirkan adikku. Dalam keadaan bayi yang masih memerah. ibu pergi meninggalkan kami semua,tanpa pesan dan berita.
Sungguh kisah hidup yang selalu membuatku menitikkan air mata tiap kali mengingatnya. Bayangan ibu selalu hadir menjelma meskipun aku tidak begitu ingat lagi sosok wajahnya karena kala itu usiaku masih terlalu kecil untuk dapat merekamnya.
Tak lama berselang ,karena sulitnya ayah untuk mengurusi kami sendiri, beliau segera menikah dengan seorang wanita yang begitu baik mendidik kami. Tak lama bersama ayah, bibiku di kampung memintaku pada ayah agar aku diasuh di kampung,katanya untuk meringankan beban ayah dan ibu tiriku.
Singkat cerita akupun dibawa ke kampung halamanku di daerah pegunungan yang didiami oleh mayoritas kaum Nasrani. Uniknya bibiku yang membesarkanku beragama Nashrani,sementara diriku tetap beragama Islam yang kuwariskan dari kedua orang tuaku.
Di daerah kami, hubungan kesukuan lebih kental dari hubungan pertalian agama. Artinya,meskipun aku menganut Islam,tetapi mereka tidak paksakan aku untuk murtad ikut agama mereka. Diantara seluruh keluarga ayah,hanya dia sendiri yang baru memeluk Islam,itupun bukan sebagai muslim yang taat beragama. Kami merasa tidak pernah dapat bimbingan agama-semoga Allah mengampuninya.
* * *
Hidup tanpa mengenal agama membuatku tidak dapat membedakan keistimewaan Islam dibandingkan agama Nashrani, karena itu. bukanlah hal yang aneh jika kukatakan aku pernah makan daging babi-Nauzubillah min zalik-dan pernah pula pergi ke gereja menemai bibiku beribadah. Subhanallah, tidak terbayang bagaimana nasibku jika ketika itu aku diwafatkan,dalam gelimang kekufuran dan kemaksiatan. Jangankan sholat,baca Qur’an saja aku tidak bisa ,sungguh memalukan diriku ini kala itu.
Bahkan pernah terlintas dalam benakku untuk murtad dan pindah agama mengikuti agama bibiku disebabkan bodohnya aku tentang Islam. Ku ingat kala itu aku disuruh baca Qur’an, namun aku tak kuasa membedakan huruf hijaiyyah apalagi untuk membaca Qur’an. Sungguh malu rasanya tak mampu membaca Quran yang hampir membuatku frustasi dengan Islam dan inggin memeluk agama Nashrani-nauzubillahi-.
Begitu berat rasanya menjalankan Islam tatkala hidup di dalam mayoritas orang-orang kafir, apalagi tanpa ilmu dan lingkungan orang-orang sholeh disekitar kita.
Dari SD hingga SMP aku hidup bagaikan bagkai berjalan tanpa ilmu dan petunjuk Allah. Namun Allah selalu mengasihi hamba-hambanya yang mencari kebenaran. Suatu ketika bibiku yang beragama Nashrani tersebut pulang ke rumah membawa hadiah Qur’an terjemahan untukku. Subhanallah, meskipun ia kafir dengan kitab tersebut,melalui dialah aku mulai tertarik membaca Alquran dan mulai berusaha memahami isi kandungannya,sedikit demi sedikit ilmuku mulai bertambah.
Tatkala duduk di bangku SMA aku telah berniat akan berhijab dan memakai jilbab selamanya. Jatidiriku sebagai muslimah harus ku tunjukkan. Alhamdulillah keinginan tersebut tercapai dan aku dapat istiqamah dengannya.
* * *
Selepas SMA aku berencana untuk mengadu nasib merantau ke sebuah pulau industri yang bertetangga dengan Singapura dan Malaysia. Dengan modal tawakkal pada Allah aku telah pula menginjakkan kakiku di pulau ini. Dari satu pekerjaan pindah kepekerjaan lain,aku mulai menghidupi diriku sendiri dan mulai menabung. Bahkan sempat aku bekerja sebagai tim sukses salah satu calon gubernur ketika itu dan membuatku selalu berjalan ke mana-mana dan berhasil mendapatkan bonus yang lumayan sehingga mampu kubeli dengannya motor baru.
Roda kehidupan terus berjalan. aku mulai pula mendengarkan kajian-kajian sunnah di pulau itu yang disiarkan melalui Radio. Namun entah kenapa,hatiku belum mantap untuk mengamalkannya.
* * *
Jenuh dengan bekerja,aku pulang ke kampung halaman,setelah beberapa saat diriku mulai dilanda kejenuhan dan meronta-ronta untuk mencari hidayah . Ku niatkan dalam diri ini untuk belajar agama dan nyantri di salah satu pesantren yang ada di kota Medan, namun tidak menemukan pesantren yang pas denganku,aku diinformasikan agar menyantri di pondok pesantren pekerja khusus wanita di pulau tempatku bekerja yang lalu.
Bismillah, aku kembali berangkat ke pulau itu dengan satu niat “menimba ilmu agama” dan berislam secara utuh. Singkat cerita akupun nyantri di tempat tersebut. Baru beberapa hari nyantri. ternyata ada di buka program belajar intensif untuk bekal menjadi guru di bawah yayasan dakwah yang terkenal di pulau itu. Akupun ikut ujian dan dinyatakan lulus.
Subhanallah….
Sejak saat itu aku harus benar,benar giat belajar dan mengejar segala ketertingalanku. Ternyata belum terlambat hampir dua tahun aku digembleng dibina hingga akhirnya kini aku telah merasakan indahnya Islam,telah pula merasakan manisnya bahasa Arab. Dari bekal Nol,kini aku telah mampu memahami sedikit-demi sedikit bahasa Arab dan literatur Arab.
Bahkan kini aku di amanahkan untuk mengajar murid-murid smp di pesantren milik yayasan tersebut. Semoga Allah selalu menjaga hidayah ini hingga akhir hayat.
Adapun ayah, telah wafat meninggalkan kami ketika aku di SMA. Sekarang hanya satu harapanku yang belum terkabul yaitu jumpa dengan ibuku yang telah hilang bertahun-tahun seolah di telan bumi. Sudah pernah aku dan adik pergi mencari keberadaan ibu di jawa, namum belum Allah takdirkan.
Yang paling menyedihkan adalah nasib adikku yang tidak pernah tau bagaimana bentuk ibu yang telah melahirkannya.
Duhai Tuhan..
Sesungguhnya Engkau mengetahui betapa kerinduan pada ibu begitu dasyat mendera
hanya kepadamu kami bermohon..
Tunjuki ibu dan pertemukan kami dengannya.
*diambil dari kisah nyata.
RSOB -Batam, 23 Shafar 1437/05 Des 2015
Abu Fairuz