Berselabung Kabut (Bagian 1)

BERSELUBUNG KABUT
(Kisah bersambung bag 1)

MUKADDIMAH

Pengalaman hidup adalah guru terbaik bagi yang mampu mengambil ibrah dan pelajaran.

Apa yang tertulis ini adalah beberapa episode berharga dari kisah seorang da’i, ku torehkan di atas catatan ini dengan asa semoga bermanfaat bagi pembaca.

TERUSIR

Udara dingin begitu menusuk hingga ke tulang. Tetesan embun masih setia membasai dedaunan, indah terlihat menempel di daun, bening bak mutiara, namun tak sebening hatiku yang lagi dirundung kesedihan.

Betapa tidak, aku dan istriku yang telah mengabdi di pesantren itu bertahun-tahun harus angkat kaki meninggalkan tempat itu esok pagi.

Keputusan pimpinan pesantrenku dan seluruh dewan guru tidak bisa diganggu gugat, aku dan istriku harus dikeluarkan.Terlalu besar menurut mereka kesalahan yang aku dan istriku buat. Baginya kami telah telah mencoreng kesucian pesantren dan mempermalukan institusi mereka..

Ternak puyuhku yang jumlahnya beratus sebagai sampingan untuk cari tambahan yang lumayan untuk mendopang gajiku yang tak seberapa harus kutinggalkan tanpa ada proses ganti rugi.

Apakah gerangan kesalahanku yang begitu fatal di mata mereka? Apakah karena aku korupsi..? makan uang pesantren atupun mezinahi santri putri? nauzubillahi min zalik– sekali-kali tidak. Aku tidak merasa sedikit juapun melanggar larangan agama.

Kisah ini berawal tatkala istriku menaruh simpati pada seseorang murid wanitanya yang begitu baik dan santun akhlaknya, berpendikan dan berwawasan. Ia jebolan salah satu universitas dan telah hijrah dan masuk pesantren untuk mendalami ilmu agama.

Begitu dekat hubungannya dengan istriku, lebih dari sekedar hubungan guru dan murid, bahkan hubungan keduanya bagaikan hubungan kakak beradik.

Istriku selalu menjadikan dirinya sebagai topik pembicaraan kami. Pujian demi pujian selalu lewat di telingaku hingga akhirnya istriku menawarkan padaku untuk mengkhitbah (melamar) nya dan menjadikannya sebagai istri keduaku.

Istriku memang hebat, bertahun-tahun menjadi teman setiaku namun tak ingin memonopoli diriku hanya untuk dirinya semata, sebagaimana keinginan banyak para wanita zaman ini yang tak sudi bila suaminya berpoligami membagi cintanya pada wanita lain. Menurutnya itu adalah sikap egois yang tidak mencerminkan akhak para wanita sholihat di generasi salaf.

Ia selalu mencontoh ibunda kaum mukminin Ramlah binti Abu Sufyan yang sangat berharap agar Nabi sudi pula menikahi saudarinya untuk berbagi kebaikan, atau seperti ibunda sarah yang menghadiahkan Hajar pada kekasih tercinta Nabi Ibrahim.

Awal mendengar tawaran tersebut, aku hanya tersenyum kecil karena tidak yakin benar dengan niat tulusnya. Tetapi karena selalu diulang-ulang maka aku akhirnya sadar bahwa ia berkata jujur dan tidak bergurau.

Biasanya banyak wanita yang seolah-olah ikhlas menerima suaminya berpoligami, namun ketika suami bersungguh-sungguh akan melaksanakannya maka kan tampak penentangannya dan ia akan melakukan segala cara untuk menghalangi niat suaminya.

Setelah berfikir panjang akhirnya aku memutuskan untuk meluluskan permintaanya. Dengan perantaraanya istriku melamar gadis itu untuk diriku. “Pucuk dicinta ulam tiba” ternyata harapanku tak bertepuk sebelah tangan, harapanku dan istriku bagaikan gayung bersambut. Ia rela menerimaku setelah mendapat restu dari orang tuanya. Tak lama akhirnya izin itu kami peroleh jua.

Rembulan malam itu menyinari hangat mayapada, sinar peraknya terlihat begitu indah dalam malam purnama. Seindah hatiku dan istriku yang berbunga-bunga. Tak berapa lama lagi aku akan menjadi imam bagi dua makmum yang serasi insyaallah.

Berita keinginanku menikah lagi dengan santri wati binaan istriku itu ternyata telah sampai ke telinga warga pesantren. Pimpinan marah besar dan mereka sepakat bahwa aku harus angkat pergi.

Entah apa yang ada dibenak mereka tentang poligami, seolah orang yang melakukannya dianggap pelaku kriminal ataupun penjahat tengik tak bermoral. Sementara orang berzina dan berselingkuh dinggap hal yang biasa tak seheboh orang yang ingin mempraktekkan sunnah Rasul yang dikebiri.

Jikalah hal ini imej orang-orang awam mungkin aku tidak begitu perdulikan, tapi kebencian terhadap syariat ini datang dari pimpinan pesantren dan para staf nya yang biasa membolak-balikkan lembaran kitab kuning dan literatur Arab gundul.

Subhanallah…

* * *

MERANTAU

Dengan berbekal seadanya aku memboyong istriku bertolak dari Jawa menuju Sumatera. Hasrat hati ingin ke Kota M mencari salah seorang ust AR yang dahulu ku kenal baik, ingin bergabung mengabdikan diri di pesantrennya, namun karena keterbatasan dana aku hanya mampu sampai ke kota PB ke tempat salah seorang keluargaku.

Beberapa hari di rumahnya aku melihat gelagat mereka tidak merasa nyaman dengan keberadaan istriku yang bercadar. Mereka menuntut agar istriku melepaskan cadarnya, hal yang membuatku mengambil keputusan harus segera mencari rumah kos sementara sebelum mendapat tempat untuk mengajar.

Alhamdulillah ada seorang temanku yang memberiku tumpangan di rumah kos-kosannya gratis tak berbayar, alhamdulillah.

Beberapa hari di kota itu aku berupaya mencari lowongan tempat mengajar yang menerimaku dan memberikanku ruang untuk mengabdikan diri tanpa menganggu gugat akidah dan keyakinan yg kuimani.

Berhari-hari tak kutemukan apa yang kucari hingga akhirnya aku membaca adanya penerimaan da’i yang ditempatkan di pulau B. Hatiku girang bukan kepalang, semangat hidupku kembali berkobar.

Segera saja ku ikuti test dengan membawa sertifikat daurah tauhid dari yayasan AS yang berbahasa Arab, dan dengan modal lancar dialoq berbahasa Arab aku langsung di terima oleh tim penguji ust jebolan S2 sudan.

Betapa gembiranya aku dan istri,namun kegembiraan itu tertahan sejenak karena aku dan istri tak punya ongkos untuk berangkat ke pulau itu..

Bersambung……

Batam, 25 Shafar 1439 H/ 14 Nov 2017

Abu Fairuz My