Seorang da’i bijak adalah da’i yang tau siapa dirinya, tau mengukur kemampuannya, faham kontribusi apa yang mampu dia berikan kepada ummat.
Bila dalam dunia kedokteran adalah hal yang wajar jika seorang dokter umum merekomendasikan pasien agar mendatangi dokter spesialis-mata-contohya, bahkan dokter -spesialis mata-juga tak pernah ragu untuk merekomendasikan pasien agar datang ke dokter ahli -kornea- contohnya, yang lebih spesifik lagi…
Maka seorang da’i yang arif akan senantiasa tak ragu merekomendasikan para mad’u untuk bertanya pada da’ i lain yang lebih mumpuni darinya dalam menjawab pertanyaan yang tidak dia kuasai.
Bukanlah aib ketika da’i berkata: “tanyakan kepada ust fulan karena itu spesialisasinya atau bacalah kitab da’i si fulan di sana kan kau temukan jawabannya!”.
Aib besar adalah tatkala da’i menjawab segala sesuatu yang ditanyakan padanya meski tak menguasainya dengan baik. Dampaknya adalah kemunculan fatwa yang aneh dan simpang siur dari berbagai da’i yang membuat ummat kebingungan.
Musibah yang melanda ummat ini datang dari dua jenis tipe da’i yang kontras.
Da’i pertama adalah tipe da’ i yang telah memiliki kapasitas ilmu yang mumpuni, punya keilmuan yang kokoh, mampu untuk berbagi ilmu pada ummat,berijtihad dan menimbang-nimbang masalah.
Namun karena tidak bijak dan dewasa berfikir,selalu saja berpangku tangan,tidak kreatif dan enggan bermujahadah memberikan kontribusi ilmunya dengan seribu alasan bahwa mereka belum layak berfatwa, agar tak melampaui ulama senior yang masih banyak.
Ujung-ujungnya adalah ummat mendapati jalan buntu tak ada solusi, sementara tak semua perkara yang bersifat kondisional dan mendesak mampu ditanyakan kepada ulama.
Ekses dari sikap mereka ini adalah naiknya da’i-da’i fitnah penyebar syubuhat dan da’i-da’i karbitan yang fatwa mereka jadi rujukan menambah penyakit bagi ummat.
Da’i kedua adalah da’i yang karbitan, dengan ilmu dan manhaj yang tak tegak,tetapi memenuhi dunia dengan fatwa dan sepak terjangnya.
Da’i pemula yang baru terlahir prematur dari rahim dakwah, menyangka dirinya selevel Ibnu Taimiyah dan Imam Ahmad bin Hanbal.
Da’i yang menganggap dipundaknya dibebankan amanah Islam dan nasib seluruh kaum muslimin. Baginya ummat begitu membutuhkan dirinya sebagaimana kerinduan ummat untuk kembalinya pahlawan Sholahuddin yang akan memuliakan Islam dan dialah Sholahuddin yang ditunggu -tunggu ummat ini.
Terkadang dakwaannya ditambahi dengan embel-embel bermap-map “tazkiyah” dari ulama timur dan barat.
Tapi jika ditilik dengan jeli dengan sebab dirinya dan kejahilannya muncul beragam problematika dakwah.
Da’i yang bijak adalah dai yang hanya melakukan apa yang mampu dia lakukan sesuai dengan kapasitas dirinya.
Daripada muluk-muluk berfikir beban ummat seluruhnya ditumpukan padanya lebih baik baginya fokus memulai dakwah dari dirinya, keluarga dan kerabatnya,sanak famili dan handai tolannya, para murid-murid dan lingkungan sekitarnya. Mereka-merekalah unsur ummat.
Da’i bijak faham bahwa menyelamatkan ummat dari badai fitnah yang melanda sejak ratusan tahun lalu tak kan dapat dituntaskan dalam satu dua malam. Hal tersebut tidak realistis.
Mengembalikan ummat ini dengan memulangkan mereka kepada ilmu dari warisan kenabian dengan memperbanyak mendirikan sekolah-sekilah Islam, pesantren-pesantren, markaz-markaz dakwah, berdakwah dengan lemah lembut hikmah dan bijak.
Berdialoq dengan metode yang terbaik, membantu program pemerintah dalam memberantas kriminalitas,sambil berdoa kepada Allah dalam segala keadaan dan tempat-tempat mustajab.
Apapun ceritanya, akan terus menerus ada sekelompok ahlus sunnah yang tegak bagaikan batu karang, tak kan pernah goyah dengan gelombang fitnah dan badai syubuhat hingga hari kiamat.
Kewajiban kita adalah turut membantu mereka, mensupport dakwah mereka dan tidak menjadi penghalang yang menghalangi manusia dari mengambil manfaat ilmu mereka.
Berapa banyak orang yang disebabkan karena perbedan pola pandang dan ijtihad, diiringi dengan tendensi pribadi dan kepentingan diri, tanpa sadar dengan sebab iri dan dengki menjadi penghalang manusia dari dakwah mereka. Wallahul musta’an.
*diracik dari kajian syeikh Ibrahim Ruhaili bin Amir
———-
Solo 22 Rabius Tsani 1439 H/ 09 Jan 2018
Abu Fairuz