Belajar Diam dan Menyendiri

Di antara perkara yang banyak mengotori hati adalah over dalam banyak bicara dan berlebihan bergaul dengan manusia.

Memang tak dipungkiri kita tak mungkin hidup menyendiri, membisu dan membatu karena kita bukan benda mati, dan karena kita makhluk sosial.

Namun banyak bergaul dengan manusia memiliki banyak sekali efek negatif yang bila kita tak mampu meminimalisirnya, kita hanya akan menuai dosa.

Berkumpul dengan manusia membuat kita akan selalu ingin bicara, karena tabiat dasar manusia itu bila bicara selalu ingin menonjolkan dirinya.

Tak sadar lidah ini bila digoyang, kerap berceloteh seputar kesuksesan karir, keberhasilan dunia, kehebatan ilmu dan ibadah, yang hanya melahirkan ujub dan bangga.

Kalaupun lidah selamat dari hal di atas, sering tak selamat dari membicarakan keburukan orang alias ghibah, bila sukses dari ghibah tak ada jaminan pula luput dari dosa megadu domba alias namimah.

Bila lidah selamat dari hal di atas, belum tentu lolos dari sok tau, berfatwa tanpa ilmu, dan minimal bicara sesuatu yang sia-sia tak bernilai pahala. Padahal kebaikan Islam seseorang itu bilamana mampu meninggalkan apa yang sia-sia bagi dirinya.

Solusi terhindar dari hal di atas, adalah banyak diam dan mengurangi pergaulan. Uzlah (menyendiri) di zaman fitnah itu bagian dari sunnah Nabi.

Uqbah bin Amir pernah bertanya pada Nabi-shallallahu alaihi wa sallam:

قلتُ يا رسولَ اللهِ ما النَّجاةُ قال أمسِكْ عليكَ لسانَكَ، وليسعْكَ
بيتُك، وابكِ على خطيئتِكَ

“Ya Rasulullah, bagaimana jalan selamat? Beliau menjawab: ”kau tahan lidahmu, cukuplah bagimu berdiam di rumahmu dan tangisilah dosa-dosamu”. HR. Tirmizi.

Kawan, jalan selamat adalah menjaga lisan, tak banyak keluyuran kemana-mana, dan taubat dengan menyesali, menangisi dosa-dosa.

Allahul musta’an

———

Denpasar, Bali 28 Jumadil Ula 1440/22 Des 2022

Abinya Zubair Ahmad Ridwan My