Hidup itu akan tetap berjalan meski tak selalu ideal sebagaimana yang kau harapkan. Idealnya menurutmu kan menikah di usia 25 tahun, namun qaddarallah “usia Nabi menikah” itu telah lewat sementara pangeran yang kau tunggu tak kunjung datang melamar.
Bilamana orang dulu, lelaki nekat menikah di usia 17-18 tahun, maka di zaman yang banyak tuntunan ini, usia tersebut dianggap usia sangat belia, baru saja tamat SMA, bahkan sudah umur 25 tahun pun masih sangat banyak yang tak berani datang melamar gadis.
Masalahnya jumlah wanita lajang berusia 25 tahun ke atas dan layak menikah, lebih banyak dari para lelaki sebaya yang punya nyali untuk mempersunting mereka.
Alasan mendasarnya beragam, mulai dari masih kuliah, sedang megejar karir, karena merasa belum mapan, masih sibuk menabung ngumpuli bekal menikah, hantaran pernikahan, mahar, belum memiliki rumah, kendaraan dan sebagainya.
Disisi lain, banyak sekali lelaki yang telah mapan, memiliki finansial yang cukup, pekerjaan ok, agama dan akhlak juga ok yang ingin maju melamar, ditolak karena ia sudah beristri.
Lamaran demi lamaran yang datang, ditolak karena tidak ingin dipoligami, diduakan, masih setia menunggu yang “perjaka ting-ting” hingga tak terasa kini sudah “berkepala tiga” menginjak usia 30 tahun bahkan lebih.
Dalam kondisi seperti ini, semakin sulit jua akhirnya mendapatkan bujangan yang masih segar, sementara “bujang lapuk” sudah kehilangan minat untuk menikah. Akhirnya sangat banyak wanita yang menua bersama sepi.
Untuk para akhwat yang didatangi pangeran pemberani, perkasa dan berpengelaman, sang nakhoda handal yang siap mengayuh samudera cinta dengan penuh gelora dan tanggung jawab, tak usah ragu menyambut mereka, segera berlayarlah bersama mereka, meski armada kapal berpenumpang 2-3-4 pembantu nakhoda.
* إني لكم من الناصحين
“Sungguh daku bagi kalian hanya pemberi nasehat”
Batam, 14 Sya’ban 1444/7 Maret 2023
Abu Fairuz My