Manakala sepasang insan melangkah ke jenjang pernikahan dan telah sepakat untuk mengikat diri dalam satu ikatan suci, maka tak satupun dari mereka yang mengangankan perceraian. Namun, ketika kebersamaan dan keutuhan rumah tangga tidak mungkin untuk dipertahankan lagi, Tatkala kebahagiaan tak dapat lagi dirasakan oleh kedua belah pihak, maka perceraian bisa menjadi satu alternatif terakhir walau berat dan pahit.
Perceraian adalah satu perkara yang rnmemiliki konsekwensi jauh ke depan. Tidak hanya bagi suami istri itu sendiri, akan tetapi juga menyangkut hak anak dan keluarga kedua belah pihak. Oleh karena itu, selayaknyalah bagi suami istri untuk bersikap hati-hati dan bijaksana ketika menghadapi prahara besar yang mengancam kelanggengan dan keutuhan rumah tangga. Terdapat dalam sebuah hadits,
”Perkara halal yang sangat dibenci Allah adalah perceraian” (HR Abu Dawud, HR Ibnu Majah, namun didhaifkan Syaikh Al-Utsaimin)
Dan memang, tidak diragukan lagi bahwa perceraian memang memiliki dampak negatif yang sangat serius terhadap kehidupan seseorang, juga masyarakat secara umum, yang diantaranya:
1. Hilangnya kesempatan bagi suami istri untuk berbuat ihsan dalam bersabar menghadapi beragam masalah rumah tangga yang akan rnmendatangkan kebaikan di dunia dan akhirat.
2. Hancurnya mahligai rumah tangga yang telah dibangun suami dan terpecah belahnya anggota keluarga. Ibarat seorang perempuan yang menguraikan benangnya yang sudah dipintal dengan kuat menjadi cerai berai kembali.
3. Berbagai perasaan cemas dan takut yang muncul menimpa suami manakala berkeinginan untuk menikah lagi. Bahkan, tidak mustahil dia akan merasa kesulitan mengumpulkan modal untuk menikah. Tidak jarang pula para orang tua merasa khawatir untuk menikahkan putri mereka dengannya setelah perceraiannya dengan istri pertama. Hingga akhirnya dia tetap membujang selamanya.
4. Kembalinya para wanita yang telah dicerai ke rumah orang tua atau wali mereka; bahkan ke rumah orang lain. Hal ini tentu akan menjadi beban mental bagi mereka maupun para wali. Sebab, menetap di rumah orang tua maupun para wali setelah diceraikan suami, tidak sama dengan ketika masih gadis sebelum menikah. Ini adalah satu hal rnyang sangat dipahami wanita.
5. Sangat sedikit kemungkinan bagi para lelaki untuk menikahi wanita yang telah menjadi janda setelah diceraikan suaminya. Tidak mustahil, setelah bercerai, sang wanita tetap menjadi janda, tidak bersuami. Tentu hal ini mendatangkan berbagai kerusakan dan tekanan batin bagi wanita tersebut sepanjang hayatnya.
6. Jika ternyata wanita yang diceraikan memiliki anak, maka persoalan menjadi semakin runyam. Sebab, tidak jarang anak-anaknya yang tinggal bersama di rumah para wali wanita akan mengalami berbagai macam permasalahan dalam berinteraksi dengan anak-anak kerabat atau wali wanita tersebut.
7. Tidak jarang sang ayah mengambil anak dari ibunya dengan paksa, hingga ibu tidak pernah lagi dapat melihatnya; apalagi jika bapak dari anak-anak ini bertemperamen keras, pasti berpisah dengan anaknya akan sangat menyakitkan hatinya.
8. Semakin menjauhnya ayah dari anak-anaknya. Bisa jadi disebabkan anak-anak tinggal bersama ibu mereka ataupun disebabkan kesibukannya dengan istri baru yang biasanya tidak begitu memperhatikan anak-anaknya ketika tinggal bersama ibu tiri. Akhirnya sang bapak menuai dosa besar karena menyia-nyiakan anaknya. Padahal, Rasulullah bersabda:
”Setiap kalian adalah pemimpin, dan tiap pemimpin akan diminta pertanggung jawabannya terhadap yang dipimpinnya. Seorang lelaki adalah pemimpin bagi keluarganya dan dia akan diminta pertanggung jawabannya. Seorang wanita adalah pemimpin rumah suaminya dan akan dimintai pertanggungjawabannya… ” (HR Bukhari, Kitabun Nikah no 5188)
9. Terlantarnya anak-anak disebabkan jauhnya dari ayah mereka dan kesulitan ibu untuk mendidik mereka sendirian. Hal ini akan menjerumuskan mereka bergaul dengan teman-teman yang buruk perangainya. Apalagi pada zaman yang penuh dengan fitnah dan tipu daya ini, tidak jarang anak-anak yang terlantar ini terjerumus ke lembah syahwat dan perzinaan, ataupun mengkonsumsi obat-obat terlarang, sehingga rnakhirnya mereka menjadi sampah masyarakat. Tentulah hal ini sangat tidak diinginkan oleh setiap orang tua yang masih memilki akal sehat dan kehormatan, sebab akan mencoreng arang di muka mereka.
10. Banyaknya kasus perceraian di masyarakat akan menghalangi banyak pemuda dan pemudi untuk menikah, karena ketakutan mereka terhadap kegagalan dan prahara dalam berumah tangga, yang akhirnya melahirkan sikap traumatis. Tentu hal ini akan mendatangkan bahaya besar bagi masyarakat ketika mereka (para pemuda) terpaksa menyalurkan kebutuhan biologisnya kepada hal-hal yang diharamkan syariat, semisal seks bebas, homoseks, lesbi dan penyimpangan seks lainnya.
( Oleh Abu Fairuz Ahmad Ridwan Al Medani)
Diterjemahkan dari buku: At-Tiryaq li Wiqayati az-Zauzaini min Ath-Tholaq, Dr. Muhammad bin Nashr Al-Humaid
————————————————-
Disalin dari majalah As-Sunnah edisi 1 tahun VIII (2004)
Assalamualaikum, ustadz bagaimana hukumnya seorang suami yang meninggalkan istri selama 7 tidak menafkahkan keluarga maupun istri lahir bathi ,dikarenakan kasus pengelapan ia menjadi buron dan ia tidak akan mungkin untuk kembali kepada keluarga tersebut karena kasusnya, setalah berjalannya waktu (sebelum 7 tahun) kira2 4 tahun ia(suami) meninggalkan keluarganya, di minta oleh anak nya untuk menceraikan istrinya sebab sianak melihat si ibu ingin menikah lagi dan ayahnya pun mentalaknya lewat sms tetapi sms ini tidak diketahui oleh si ibu. tetapi karena sianak ini tidak mengetahui hukumnya maka ia tidak membolehkan ibunya untuk menikah lagi dengan alasan masih terikat perkawinan dengan ayahnya “menurut si anak”.
pertanyaannya:
1.bolehkah si istri menikah lagi melihat keadaan diatas?
2.bagaimana sikap sianak yang sesuai syar’i
syukron jazakumullahu khoiron
Pingback: Perceraian: Sisi Negatif yang perlu Ditimbang | HANG FM BATAM