TANYA JAWAB Bersama Masyaikh Markaz Imam Albani

tanya jawab dengan ulama kibar

TANYA JAWAB
Bersama Masyaikh Markaz Imam Albani
Transkrip dan Terjemah :
Abu Fairuz Ahmad Ridwan al-Madani
Ahmad bin Muhammad asy-Syihhi
Pada Dauroh Ilmiyyah bagi du’at Salafiyyah, tanggal 17-21 Maret 2002 Diselenggarakan oleh Ma’had Ali Al-Irsyad As-Salafi Surabaya

PERTANYAAN :
Apa pendapat anda dalam menanggapi maslak qiyas, apakah dia termasuk salah satu sumber selain Alquran dan as-Sunnah ?

Syaikh Masyhur Salman menjawab :
Masalah ini adalah permasalahan yang banyak membuat sesorang keliru pemahamannya dan tergelincir, namun jawaban yang rajih bahwa syariat ini memiliki illat (sebab dibuatnya hukum-pent)yang mu’tabarah (dianggap). Sebagaimana yang tertulis dalam surat Umar kepada Abu Musa Al-As’ari yang berbunyi: “Kenalilah sesuatu dengan hal-hal yang serupa dengannya maka engkau akan mengetahui kebenaran”.

Tetapi Qiyas bukan sumber yang independen layaknya Alquran dan As-Sunnah, dia hanyalah sebuah masdar taba’I (dasar yang mengikut )dibawah cakupan Alquran
dan As-sunnah. Kita paham dari Alquran dan As-sunnah adanya kaedah-kaedah umum dan ketentuan -ketentuan dasar ,maupun kaedah-kaedah fikih. Dengan itulah kita berusaha menyesuaikan hukum-hukum dengan menganalogikannya kepada kasus-kasus yang serupa. Dalam menyikapi Qiyas, manusia yang keliru terbagi menjadi dua kelompok yang bersebrangan: pertama adalah kelompok yang menolak qiyas secara total dan tidak manganggap bahwa syariat ini memililiki illat, memiliki hikmah bahkan mengingkari bahwa syariat ini ada yang ma’qulatul makna( dapat di rasionalkan.pent). kelompok ini adalah keliru.

Adapun kelompok kedua: adalah kelompok yang terlalu luas dalam penggunaan qiyas sehingga meremehkan nasnas, bahkan bukan sekedar menjadikannya dasar hukum ketiga saja, lebih dari itu dia mendahulukannya dari nasnas, walaupun pada dasarnya sepakat menerima nas.

Kelompok ini juga keliru sebagaimana yang pertama.
Jawaban yang benar bahwa Qiyas mu’tabar (dianggap sebagai salah satu rujukan.pent). Ketika Ahmad bertemu dengan Syafii, –Ahmad sangat mencintai Syafii-. Dia pernah menukil sebuah perkatan Syafii ketika ditanya mengenai kehujjahan qiyas : “Qiyas dapat dipakai hanya pada kondisi darurat” inilah yang diperkuat Imam Ibn Qoyyim dalam keterangannya dan penjelasannya yang sangat tepat dan sempurna hingga tidak perlu lagi ditambahi dalam kitabnya :”I’lam al-Muwaqqi’in ‘an Rabbi al-‘alamin.

Kemudian masalah ini turut diperbincangkan oleh Jabariyyah dan Qodariyyah sehingga terseret kedalam pemahaman aqidah yang rusak.

Pendapat yang paling benar dan pertengahan adalah yang kusebutkan tadi , namun kalimat yang kusampaikan ini tentu tidak cukup untuk menerangkan secara rinci
permasalahan ini dari apa yang diterangkan Ibn Qoyyim.

PERTANYAAN :
Bagaimana standar suatu permasalahkan dapat digolongkan ke dalam perkara bid’ah ataupun tidak?

Syaikh Salim Hilali menjawab :
Bid’ah yaitu suatu perkara yang tidak memiliki dalil sedikitpun baik yang menyangkut asalnya maupun sifatnya(caranya). Segala perkara yang diada-adakan di dalam agama ini maka akan tertolak.semua bida’ah tetaplah dainggap bid’ah baik dengan meninggalkan sesuatu dalam Islam dengan niat bertaqarrub kepada Allah ataupun bid’ah idofiyyah yaitu perkara yang dasarnya disyariatkan namun sifatnya/caranya dibuat-buat.

Tetapi bukan setiap orang yang tergelincir kedalam perbuatan bidah dihukumi sebagai Ahlu bid’ah. Seseorang dihukumi dengan ahlu bid’ah jika telah diberitahukan kepadanya tentang kebid’ahan perbuatannya , dinasehati dan diperingatkan namun dia tetap bersikeras dengan bid’ahnya. Orang seperti ini digolongkan ke dalam Ahlu bid’ah dan boleh ditahzir sebab tidak lagi memiliki karamah (harga diri sebagai muslim).

Sehubungan dengan ini penanya bertanya tentang beberapa yayasan diantaranya tentang yayasan alsofwah. Dalam hal ini aku tidak mengetahui yayasan ini, dia bertanya tentang Yayaysan Al-Haramain dan Ihya at-Turas. Mnegenai kedua yayasan ini yang kuketahui bahwa kedua yayasan ini yayasan Hizbiyyah dan Surururiyyah( harus ditahzir). dia juga bertanya tentang Syaikh Salih Munajjid, maka sepanjang pengetahuanku terhadap beberapa karya maupun muhadarahnya dia adalah seorang Hizbiyah dan Pemuka Sururiyyah.WaBILLAHI AT-TAUFIQ.

PERTANYAAN : Orang yang menjadi khatib jumat, apakah harus menjadi imam solat?

Syaikh Masyhur menjawab :
Sholat dan Khutbah jumat adalah Ibadah, dalam hal ini petunjuk yang diajarakan
Rasulullah bahwa siapa yang menjadi Imam dialah yang menjadi khatib, jika tidak maka perbuatan tersebut adalah menyelsisih Sunnah. Namun jika yang menjadi Imam bukan khatib solat tetap sah walaupun tidak sesuai dengan sunnah. Ulama yang membahas perkara ini diantaranya Imam Syaukani dalam karyanyan “As-Saiful Jarrar”.
PERTANYAAN : Apakah boleh mengakhirkan Sholat karena alasan mengikuti durus (ceramah pelajaran) dalam acara tertentu dengan mengutip sebuah kaedah “al-I’mal muqaddamun ‘ala ihmal” (sesuatu yang penting harus didahulukuan dari yang remeh).


Syaikh Masyhur menjawab :
Wajib mengerjakan seluruh ibadat dan Allah telah menetapkan untuk kalian waktu-waktu tertentu, maka solatlah pada waktu solat datang. Sebenarnya tidak ada yang bertentangan, sebab prinsipnya adalah upaya untuk menggabungkan antara semua kebajikan dengan tidak mempertentangkan satu sama lainnya.

PERTANYAAN : Berapa ketentuan zakat fitah dan bolehkah mengeluarkan dalam bentuk nilai benda tersebut(Uang) ?

Syaikh Masyhur menjawab :
Mayoritas ulama berpendapat tentang wajibnya mengeluarkan zakat fitrah dalam bentuk makanan, bahkan Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda: “Sesungguhnya zakat adalah makanan orang-orang miskin”. Oleh karena itu tidak disyariatkan membayar zakat fitrah dalam bentuk nilai kecuali pendapat Abu Hanifah.

Yang benar menurutku adalah pendapat mayoritas ulama, yaitu tidak sah membayar zakat dalam bentuk nilai uang, kecuali dalam dua hal, yaitu:
Pertama: Jika orang yang mengeluarkan zakat membayarkan uangnya kepada seseorang yang diwakilkan, dan kelak orang tersebut yang membeli makanan untuk dibayar zakat
Kedua: jika tidak punya waktu lagi untuk membayar dengan bentuk makanan, dan harus dibayarkan kepada fakir miskin yang ada dihadapannya, misalnya dia baru teringat ketika sholat ied akan dimulai, jika tidak dibayar dalam bentuk uang maka dia tidak melaksanakan kewajiban zakat, maka pada kondisi yang begitu darurat ini diperboehkan membayar dengan uang.

Adapun ukurannya, yaitu makanan pokok suatu daerah yang dapat disimpan lama seukuran satu sha (empat mud/ kedau telapak tangan).adapun jenis makanan alburru (gandum) menurut Ibn Khuzaimah dibolehkan dengan setengah Sha ‘.

Dalam membayar zakat fitrah ini diperbolehkan melebihkan timbangan dari yang ditentukan dan ini tidak termasuk bid’ah. Sebab kelebihan termasuk hal-hal yang
diperbolehkan dan tidak menyatu sebagaimana yang ditahqiq oleh Ibn Rajab. Satu Sho bukan wazn tetapi kail sebanyak empat mud, satu mud yaitu ukuran telapak tangan seorang lelaki dewasa yang pertegahan( tidak Terlalu besar ataupun terlalu kecil. Pent)

PERTANYAAN: Kami mnegharapkan anda menerangkan tentan hukum melagukan Adzan dan memerdukan suara?

Syaikh Masyhur menjawab :
Adzan adalah Ibadah dan ketaatan yang dituntut agar muadzdzin melafazhkannya dengan tarassul (berlahan-lahan), sebagaimana Rasulullah memilih Abu Mahzurah sebagai muadzdzin dan memerintahkan seseorang yaitu Abdullah Ibn Zaid untuk
mengajarinya Adzan.. Dalam Adzan dibutuhkan attarassul dengan batasan syariat dan tidak boleh berlebihan memanjangkannya.Hal ini juga berlaku dalam membaca alquran. Adapun lagu-lagu yang berlebih-lebihan tidak disyariatkan. Hukum-hukum
bacaan yang telah ada adalah standar dalam hal tilawah ditambahi dengan tarassul ketika mengumandangkan Adzan.

Adapun hukum-hukum fikih yang dibicarakan ulama dalam hal wajibnya mendatangi jamaah sholat ketika mendengar Adzan maksudnya ialah Adzan yang dikumandangkan oleh seorang muadzdzin yang bersuara tinggi. Wallahu a’lam.
PERTANYAAN : Penanya bertanya tentang lafazh takbir ketika hari raya, Allahu akbar 3x la ilaha i llallah Allahu akbar 2x walillahi al-hamd, apakah astar tentang hal ini sahih?

Syaikh Ali Hasan menjawab :
Inilah Atsar yang paling sahih yang berasal dari para sahabat ketika bertakbir, inilah yang paling benar dari Ibn Mas’ud dan para sahabat dan pengikutnya ayng diwarisi umat Islam dari generasi ke generasi, adapun melagu-lagukannya dan memanjang-manjangkannya secara berlebihan atau mengkhususkannya pada waktu dan tempat tertentu keseluruhan hal ini adalah bid’ah. Wallohu al-Hadi ila sawai as-sabil.

PERTANYAAN : Tahkim kepada undang undang buatan manusia adalah syirik Akbar menurut ijma ulama. Bagaimana pendapat anda dengan sikap yang dinyatakan orang-orang bahwa mereka akan menentang hal ini dan akan duduk bersama mereka dalam hal menghalalkan ataupun mengharamkan sementara mereka orang Islam dan sebagian orang kafir.

Syaikh Salim menjawab :
Pertanyaan ini mukaddimahnya keliru. Sebab pernyataan bahwa “tahkim kepada undang-undang buatan manusia adalah syirik akbar berdasarkan ijma ulama” adalah salah.

Sebab meninggalkan hukum yang telah diturunkan Allah atau berhukum dengan undang-undang buatan manusia akan menjadi kufur akbar harus dengan syarat-syarat tertentu, diantaranya : Bahwa penguasa berhukum dengan hal-hal yang bertentangan dengan hukum Allah , sebab banyak juga undang-undang buatan manusia yang tidak bertentangan dengan syaraiat Allah. Sebab kata-kata “undang-undang buatan manusia” harus dikaitkan dengan yang bertentangan dengan syariat.

Undang-undang buatan manusia pada zaman ini memang hasil buatan mereka tetapi banyak yang tidak bertentangan dan sesuai dengan syariat, masih dalam cakupan kaedah Islam dan merupakan masalih mursalah. Oleh karena itu para Ulama kita berusaha keras untuk mengkaitkan UU (undang-undang) ini dengan yang bertentangan dengan syariat ataupun hukum Allah dan ketetapan Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam Tahkim UU buatan manusia menurut Ulama, terkadang bisa menjadi kufur Akbar, terkadang menjadi kufur Asghar, inilah dia ijma ummat dan yang berlandaskan dengan Astar Ibn Abbas:” Bukanlah kufur sebenarnya apa yang menjadi pendapat kalian sekarang ini, tetapi merupakan kufr duna kufr. Oleh karena itu seluruh ahli tafsir mengambil kata ini ketika menafsirkan ayat : “Barang siapa yang tidak berhukum dengan apa yang Allah turunkan maka mereka adalah orang-orang kafir”.

Kesimpulannya Tidak lah seorang penguasa menjadi kafir kecuali jika menghalalkan untuk berhukum dengan selain yang Allah turunkan. Oleh karena itu sebenarnya isu-isu yang merusak seputar hal ini selalu digembar-gemborkan oleh orang-orang Sururi, yang beranggapan bahwa hukum dengan selain Yang Allah turunkan kafir dengan sendirinya–alangkah jelek yang mereka katakan-dan aku tidak pernah tahu ada sorang yang berilmu dan kommit degnan Sunnah berkata seperti mereka sebelumnya, dalam hal ini rujukan mereka adalah Sayyid Quthb saja.

Intinya kita harus membeda-bedakah hukum, jika seorang Penguasa menghalalkan sesuatu selain yang diturunkan Allah, jika dia mengganggap baik hukum selain hukum Allah; jika dia menyatakan bahwa dia bebas memilih antara hukum Islam dan bukan hukum Islam; juka dia mengatakan bahwa hukum Islam tidak wajib diterapkannya, maka hal ini yang menjadi Kufur akbar, ditambah dengan tahaqquq as-syurut wa imtina’ul mawani’ (persyaratan tertentu yang lengkap padanya dan tidak adanya lagi hal-hal yang menghalangi).

Adapun jika dia menerapkan hukum ini karena mengikuti hawa nafsu, karena kepentingan tertentu atau karena disuap maka hal ini kufur duna kufr yaitu jatuh pada kategori kufur asghar tidak mengeluarkannya dari agama Islam. Ini penting diketahui dalam masalah ini Adapun duduk beserta mereka baik yang jatuh kepada kufur akbar maupun kufur asghar dalam hal ini, maka hukumnya terlarang kecuali bagi para duat mukhlisin yang menasehati mereka untuk ruju’ kepada kitab Allah dan Sunnah Rasulnya. Karena hal ini adalah istihza mengolok-olok ayat Allah maka janganlah kita duduk bersama mereka aatau bergabung dengan mereka.

Sesungguhnya Quraisy Memiliki parlemen yaitu Darun Nadwah, tetapi apakah pernah Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam masuk dan turut serta dengan mereka?
Kecuali bagi da’i yang mukhlis dan mau menyeru mereka dan melarang mereka. wabillhi at-taufiq.

PERTANYAAN : Perkataan seseorang– yang telah beristri– kepada saudaranya, sahabatnya ataupun, bapaknya: “Aku akan menceraikan istriku”. Perkataan ini diucapkan dihadapan istrinya dalam kondisi sangat marah. Apakah perkataan ini dianggap thalaq sebenarnya  dan berlaku ?

Syaikh Masyhur menjawab :
Ungkapan yang diucapkannya ini-baik dalam kondisi stabil ataupun marah-tidak masuk kedalam kategori tholaq. Sebab ungkapannya “akan kuceraikan” masih dalam bentuk fi’il mustaqbal (kata kerja untuk waktu yang akan datang).

Oleh karena itu tidak ada konsekwensi dari ucapannya itu selama dia tidak mentholaqnya dengan sebenarnya.
PERTANYAAN : Dalam kasus Salim -maula abi Huzaifah- yang Disusukan oleh istri Abu Huzaifah (agar menjadi mahram hingga dapat keluar masuk rumahnya dengan bebas, sementara dia telah menginjak dewasa.pent) apakah kasus ini berlaku untuk Salim secara khusus atau dapat berlaku untuk seluruh orang? Jika seseorang memiliki anak angkat yang berumur sepuluh tahun memper lakukan anak tersebut sebagaimana kasus Salim, apakah hubungan kemahraman antara mereka berlaku juga? Bolehkah melaksanakan penyembelihan korban dengan niat dihadiahkan pahalanya kepada orang yang telah meninggal?

Syaikh Masyur menjawab :
Sebelum menjawab yang pertama aku akan menjawab yang kedua. Seseorang yang telah meninggal tidak boleh disembelih untuknya Qurban (dengan niat agar disampaikan pahala untuknya). Sebab tidak ada dalil kuat yang mensyariatkannya. Intinya Sembelihan Qurban boleh di atasnamakan untuk keluarga yang masih hidup maupun yang telah meninggal secara umum, bukan dikhususkan hanya untuk seseorang yang telah meninggal.

Adapun kasus Salim -Maula Abi Huzaifah -pendapat yang paling rajih/benar adalah qadiyah ‘ain (kasus yang berlaku khusus untuknya). Perkara qodiyah ‘a’yaan –yaitu kasus yang terjadi dengan orang-orang tertentu apakah juga dapat diberlakukan untuk umum atau tidak-merupkan perkara khilafiyyah yang sengit dikalangan ulama.

Perkataan Ulama Usul almuhaqqiqin dalam hal ini bahwa kasus yang berlaku terhadap orang tertentu diberlakukan juga untuk umum jika memiliki kondisi yang sama. Maka jika terdapat seseorang anak berumur sepuluh tahun yang terlantar dan disia-siakan-alangkah banyaknya kondisi anak-anak kaum muslimin yang seperti ini– boleh bagi seorang wanita menyusuinya agar menjadi mahram baginya.
PERTANYAAN : Apakah hukum jual beli barang-barang yang terdapat di dalamnya gambar-gambar wanita ataupun binatang seperti sabun contohnya, jika gambar-gambarnya dicabut orang tidak akan membelinya? Apa hukum menerima hadiah-hadiah yang didapatkan dari perusahaan-perusahaan pembuat minuman keras, ataupun perusahaan yang menjual barang-barang diharamkan, apakah hadiah-hadiah ini dibakar, dikubur, atau bagaimana?

Syaikh Masyur menjawab :
Pada dasarnya engkau tidak boleh bekerja sama dengan perusahaan-persusahaan seperti ini dan tidak boleh menerima hadiah-hadiah dari mereka.

Bentuk pengingkaranmu terhadap perusahaan ini yaitu dengan menolak-hadiah-hadiah dari mereka, apalagi hadiah memiliki pengaruh khusus bagi hati dan membuat seseorang condong kepada yang memberikannya..jika terjadi hal-hal lain, jika Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam mengaramkan mengakui keberadan pelaku-pelaku perbuatan haram namun beliau juga melarang pebuatan sia-sia, oleh karena itu jika hadiah tersebut telah diterima maka wajib disedekahkan, sebagaimana dalam kaedah “Harta yang haram tempatnya dikeluarkan dalam bentuk sedekah”.

Adapun hukum menjual barang-barang yang bergambar, kita memiliki dua hal : pertama al-ashlu (hukum asal jual beli) kedua azh-zhahir (yang nampak). Masalah yang wajib diketahui orang-orang sekarang adalah masalah alashlu dan azh-zhahir, mana yang diutamakan jika keduanya bertentangan? Jual beli sabun contohnya, hukum asalnya adalah halal, secara zahirnya dia haram karena ada gambarnya.Sebenarnya gambar independen / terpisah dari sabun, sebab ketika anda membeli sebenarnya yang anda ingin beli adalah sabunnya bukan gambarnya, dan gambarnya akan dibuang dan dikoyak, oleh karena itu tidak ada masalah untuk membelinya dikembalikan kepada hukum asalnya.
PERTANYAAN : Apa hukum memakai pantolun / celana panjang dalam solat dan apa hukum tidak memakai tutup kepala/kopiah?

Syaikh Masyur menjawab :
Memakai bantolun hukum asalnya adalah makruh. Memakai bantolun bisa dihukumi makruh ataupun haram. Jika ia sempit dan menampakkan aurat maka hukumnya haram. Dalam sebuah sanad yang sahih Umar Ibn Khattab pernah menulis sebuah surat panjang kepada gubernurnya di Kufah –utbah ibn alfarqod– yang diakhirnya dia mengatakan:” Hendaklah kalian memakai pakaian bapak kalian Ibrahim”.

Seorang muslim Hendaklah dituntut untuk tidak menyerupai orang musyrik. Adapun hukum solatnya tetap sah walaupun makruh. Aku telah terangkan permasalahahan
ini dan fatwa para ulama mengenai ini dalam bukuku “al-Qaulu al-mubin fi akhta’I al-Musallin”..
PERTANYAAN : Apa hukum tranfusi darah/donor darah kepada orang kafir atau menerima donor darah dari orang kafir?

Syaikh Masyur menjawab :
Hukum fikih sangat terkait dengan praktek/amal bukan dengan zat. Sedekah kepada orang kafir diperbolehkan, berbuat kebajikan kepada orang kafir juga disyariatkan. Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam berkata: “Pada setiap yang memiliki nyawa dan hati terdapat ganjaran pahala (dalam hal berbuat kebajikan)”.

Sebagaimana dalam sebuah hadis seorang wanta pelacur pada masa bani Israel masuk surga karena memberi minum seekor anjing.

Oleh karena itu boleh saja hukumnya donor darah kepada orang-kafir, terlebih lagi jika ada hubungan kerabat seperti terhadap orang tua, mahramnya dan yang lainnya.
Dengan demikian hukum-hukum syariat selalau terkait dengan af’al bukan dengan dzawat. Didalam mendefenisiikan hukum ulama mengungkapkan bahwa hukum adalah khitab/seruan allah yang berkaitan dengan pebuatan al-mukhatabin (orang-orang yang diseru). wallahu a’lam.
PERTANYAAN : Jika seorang Imam membaca ayat yang terdapat di dalamnya sajadah dan dia ingin sujud apakah dia harus takbir atau tidak ?

Syaikh Musa menjawab :
Dalam hal ini Ibn Taimiyyah menyebutkan tiga pendapat, pertama Dia harus bertakbir ketika akan sujud dan ketika bangkit dari sujud.

Pendapat kedua dia harus bertakbir ketika akan sujud dan tidak perlu bertakbir ketika bangkit dari sujud.

Pendapat ketiga dia tidak bertakbir baik ketika akan sujud ataupun ketika bangkit dari sujud. Pendapat terakhir inilah kelihatannya yang dipegang dan dikuatkan oleh Syaikh kami (Al-Albani).

Namun aku berpendapat bahwa hal ini disyaratkan pada kondisi makmun tidak terhalang dari imam ataupun tidak berada jauh dari tempat imam sehingga mereka dapat melihat imam turun sujud, sebaliknya jika terdapat makmum wanita ditingkat dua atau para makmum berada jauh dari imam dan mereka terhalang dengan tembok ataupun kain pembatas untuk melihatnya turun sujud, maka imam harus bertakbir.
Menurutku -wallahu a’lam– bahwa imam boleh bertakbir ketika sujud sambil membaca bacaan dengan sedikit memperdengarkannya kepada para makmun agar mereka mengikutinya.
PERTANYAAN : Sebagaimana diketahui bahwa jihad itu harus dipimpin oleh seorang imam, bagaimana jika jihad dipimpin oleh seorang pemimpin kafir?

Syaikh Salim menjawab :
Haram berjihad di bawah bendera pemimpin kafir. Jihad dibagai para ulama menjadi dua bagian, pertama jihad tholab (menyerang), kedua jihad daf’u (mempertahankan). Dalam jihad tholab diperlukan serang imam atau yang mewakilinya, sebaliknya jihad daf’u (mempertahankan) tidak memer lukan seorang imam. Dalam jihad tholab syarat imam haruslah seorang mus lim, adapun dalam jihad daf’i maka hal ini tidak disyaratkan.
PERTANYAAN : Penanya bertanya tentang hukum ‘amaliyah istisyhadiyah (aksi mati syahid/bunuh diri) yang banyak terjadi di Palestina dan negeri-negeri Islam lainnya, berdalil dengan kisah ibn umi maktum dan kisah pemuda yang belajar dari seorang pendeta. Dalam hal ini salah seorang murid Syaikh Said Ramadhan al-Buthi pernah menulis.

Syaikh Salim menjawab :
Adapun tentang amaliayah istisyhadiyah (aksi mati syahid) maka jawabannya ada
pada pertanyaan sendiri, mungkin penanya bermaksud tentang hukum al-mughamarah bi an-nafs (bertempur dengan mempertaruhkan jiwa,pent), al-mughamarah ini ada beberapa macam.

Sebelumnya penamaannya dengan amaliyah istisyhadiyah (aksi mati syahid) atau amaliyah intihariyyah (aksi bunuh diri) keduanya adalah keliru, sebab jika kita namakan dengan istilah ini maka kita mendapatkan jawabannya dari makna soal sendiri tanpa harus diterangkan lebih rinci lagi.

Para ulama membahas hal ini dengan istilah hukum almughamarah bi an-nafsi. Seluruh dalil-dalil yang ada mengenai masalah ini, dan pertanyaan yang ditanyakan penanya ini tidak mungkin tuntas kecuali dengan penjelasan yang rinci, namun saat ini tidak tepat untuk menerangkannya secara mendetail. Seluruh aksi-aksi ini akan membuat musuh terbunuh, tetapi bukanlah membunuh musuh seseorang harus turut pula membunuh dirinya -perbedaan ini harus diperhatikan-.

Kedua: kaum muslimin membolehkan membunuh orang Islam yang digunakan sebagai perisai oleh orang-orang kafir. Menurut ulama terdapat suatu kaedah yaitu” Membunuh orang lain lebih besar disisi Allah daripada membunuh diri sendiri. Jika boleh membunuh orang lain yang digunakan sebagai perisai oleh orang kafir karena adanya maslahat yang mu’tabarah maka boleh juga bagi seseorang untuk maju berjihad walaupun harus membunuh dirinya, namun dengan beberapa syarat tertentu; ketentuan-ketentuan ini pada masa sekarang kebanyakan hanyalah bersifat pendapat/ijtihad. Aku telah menulis mengenai masalah ini sebuah buku dengan pembahsan yang panjang -buku ini sedang dicetak—dan buku in bisa dibaca di internet dalam situs markaz imam al-Albani, barang siapa yang mau perinciannya silahkan meruju kesana, dan masalah ini pernah juga ditulis di majalah al-asolah.

Ringkasan dari permasalah ini-walaupun permasalah ini banyak ditulis oleh ulama-ulama temporer sekarang- namun yang jelas permasalahan ini benar-benar menuntut ekstra lebih teliti dan tidak tergesa-gesa dengan melihat kepada nusus syairah, maqasid syariah, qowaid syariah dan mutlak membutuhkan seorang penulis yang dapat menulis dengan haq dan adil.

Pendapat yang kupilih, setelah kuteliti jauh dan inilah pendapat Syaikh al-Albani bahwa aksi-aksi ini boleh dilakukan dengan beberapa syarat, diantara syarat yang terpenting adalah terwujudnya kemaslahatan besar, aksi ini dalam dunia militer biasa dilakukan walaupun mereka sepakat bahwa aksi ini tidak akan menghabisi musuh ataupun menghancurkan benteng-benteng musuh. Maka aksi seperti ini diperbolehkan dalam kondisi darurat ketika tidak menemukan jalan lain dengan persiapan dan perhitungan yang matang. Hal ini dalam dunia militer dikenal dengan “perang urat saraf” guna melemahkan mental lawan, sebagai bagian dari taktik perang.

Maka bagi siapa yang ingin melaksanakan aksi ini, wajib bagainya untuk memperbaiki hubungannya dengan Allah terlebih dahulu dan telah bertanya terlebih dahulu. Mari kita bermohon kepada Allah agar Dia menerima amalan orang-orang yang berbuat aksi-aksi seperti ini. Adapun urusan mereka setelah meninggal sepenuhnya diserahkan kepada Allah, kita tidak boleh memastikan mereka masuk surga walaupun kita terus berdoa untuk mereka.

NAMUN YANG KUYAKINI BAHWA KEWAJIBAN SEKARANG INI BUKAN BERBUAT AKSI-AKSI SEPERTI INI. Wallahu a’lam
PERTANYAAN : Mana yang lebih didahulukan apakah tasfiyah baru tarbiyah atau tidak masalah untuk mendahulukan salah satu dari keduanya ?

Syaikh Mansyur menjawab :
Prinsipnya tasfiyah dan tarbiyah harus berjalan seiring, dalam syair dikatakan: “Seorang Alim yang tidak mengamalkan ilmunya akan di azab sebelum para penyembah berhala”. Sebab pada dasarnya orang yang belajar adalah untuk dapat diamalkan, barang siapa yang bertambah ilmunya dan tidak bertambah taqwanya maka hendaklah curiga dengan ilmunya.Manausia tidak sanggup untuk belajar dan menambah sesuatu ilmu kecuali jika Allah telah melimpahkan kepadanya sifat assidqu (kejujuran) dan amal soleh, berkah dan beratambahnya ilmu seseorang itu jika dia berusaha mengamalkan ilmu yang didapatnya.
Adapun yang membagi hidupnya kepada periode tertentu-periode tasfiyah dahulu baru tarbiah atau sebaliknya-atau mengatakan:” aku sekarang dalam periode tazkiah maka aku tidak akan beramal hingga aku paham agama ini secara keseluruhan”. Ini adalah keliru. Wajib bagi setiap orang setelah belajar langsung bersegera mengamalkannya mengejar ridho Allah subhanahu wa ta’ala.
PERTANYAAN : Apa maksud dari pernyataan ” Sunnah sahabat”

Syaikh Ali Hasan menjawab :
pertama : perkatan ini adalah sebuah terminologi, sebab kata: as-Sunnah, bermakna metode. Jika dikatakan :” Sunnah sahabah” maksudnya adalah metode atau cara sahabat. Istilah seperti ini tidak masalah untuk dikatakan. Dalam kata lain bahwa cara seperti ini pernah di perbuat para sahabat dan masyhur tersebar diantara mereka tanpa ada yang mengingkari.

Kedua apakah kata “sunnah sahabah” dapat pula diartikan sebagai Sunnah Nabi? jawabanya adalah tidak. Jika disebutkan” Sunnah Sahabat” terhadap sesuatu yang diriwayatkan sahabat dan memiliki hukum marfu dalam perkara yang tidak boleh berijtihad di dalamnya, hal ini dapat dikatakan sebagai sunnah sahabat, walaupun dengan nash yang tidak marfu secara langsung.

Ketiga jika terdapat pengertian laini selain yang saya sebutkan tadi , maka tolong dijelaskan agar kami dapat menghukuminya.Namun aku melihat bahwa tidak mungkin makna perkataan tersebut keluar dari kedua perkara yang telah kusebutkan tadi , wallahu a’lam.