Hukum Menasehati Penguasa Secara Terang-Terangan

Bismillah

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah-rahimahullah– menyebutkan ciri-ciri seorang alim yang fakih itu bukanlah seseorang yang hanya tau mana yang halal dan mana yang haram. Tetapi orang Alim yang fakih adalah orang yang mengetahui di antara dua kebaikan itu ada yang lebih baik, dan di antara dua kejelekan itu ada yang lebih jelek lagi.

Inti agama ini muaranya adalah mendatangkan kemaslahatan dan menjauhkan kemudaratan/kerusakan. Semua syariat yang turun berupa perintah maupun larangan datang untuk mewujudkan maslahat dan menolak mudarat.

Kode etik menasehati penguasa adalah bagian dari ibadah yang berarti harus terwujud padanya dua hal, ikhlas dan mutaba’ah. Tentulah perkara mutaba’ah melazimkan adanya nash/dalil dari Alquran dan Sunnah yang sahihah.

Dalam menasehati penguasa ada sejumlah dalil yang harus dijadikan sebagai rujukan agar terwujud kemaslahatan dan terjauhkan kemudaratan/kerusakan. Sebab penguasa memiliki kekuatan dan kedudukan yang harus dijadikan timbangan untuk tidak membangunkan “singa tidur”.

Inilah kode etik dalam menasehati penguasa.

1. Menasehati mereka dengan memilih kata-kata yang bijak dan lembut agar nasehat itu dapat masuk ke hati dan berkenan.

Lihatlah bagaimana Allah memerintahkan kepada Musa dan Harun- sebagai dua sosok Nabi- untuk mendatangi Firaun-Makhluk terkutuk yang mengaku sebagai tuhan- untuk berkata-kata lembut:

اذْهَبَا إِلَىٰ فِرْعَوْنَ إِنَّهُ طَغَى. فَقُولَا لَهُ قَوْلًا لَيِّنًا لَعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَىٰ

Pergilah kamu berdua kepada Fir’aun, sesungguhnya dia telah melampaui batas;
maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut”. QS: Thoha. 44-45.

Jikalah anda sebagai orang awam tidak ingin dinasehati dengan keras dan kasar, apalagi penguasa yang di atas anda.

2. Menasehatinya secara sembunyi-sembunyi, bukan di depan khalayak ramai, sebab menasehati seseorang di depan orang banyak akan meruntuhkan wibawa seseorang, membangkitkan ego dan kemarahannya.

Nabi Sallallahu Alaihi wa sallam bersabda:

: « من أراد أن ينصح لذي سلطان فلا يبده علانية ، ولكن يأخذ بيده فيخلوا به ، فإن قبل منه فذاك ، وإلا كان قد أدى الذي عليه » .

“Barang siapa yang ingin menasehati seorang penguasa maka janganlah ia menasehatinya secara terang-terangan, tetapi hendaknya ia mengambil tangannya dan berduaan dengannya, bila diterima maka itulah selayaknya, namun bila ditolak maka sesungguhnya ia telah menunaikan kewajibannya”.

Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad, At-Thabrani, Alhakim, Albaihaqi dan Syeikh Al-Albani mensahihkannya.

Meskipun Syeikh Al-Albani bukanlah seorang yang maksum tak pernah salah, namun “tashih” beliau terhadap suatu hadis dapat dijadikan i’tibar dan tidak dapat diremehkan.

Apalagi jika ternyata isi hadis tersebut yang diamalkan oleh para sahabat Nabi, semisal Ali bin Abi Thalib dan Usamah bin Zaid melakukan krtikan kepada Khalifah Ustman.

قال بعض الناس لأسامة بن زيد رضي الله عنه: ألا تكلم عثمان؟ فقال: (إنكم ترون أني لا أكلمه، إلا أسمعكم؟ إني أكلمه فيما بيني وبينه دون أن أفتتح أمراً لا أحب أن أكون أول من افتتحه)
“Orang-orang berkata kepada Usamah bin Zaid-semoga Allah meridhoinya-: “Mengapakah anda tidak berbicara (mengkritisi) Utsman?. Beliau menjawab: “apakah kalian menganggap aku tidak mengkritisinya kecuali aku harus beritahukan kepada kalian? Sungguh aku benar-benar telah berbicara padanya berduaan tanpa harus membeberkannya karena aku tidak ingin menjadi orang yang pertama membuka pintu fitnah”.

Berkata Ali Bin Abi Thalib ketika ada seseorang yang menasehatinya di depan orang banyak: “wahai amirul mu’minin sesungguhnya engkau telah melakukan kesalahan dalam hal-hal ini, dan aku menasehatimu sepatutnya engkau melakukan hal-hal seperti ini dan itu”, maka Ali menjawab:

” إذا نصحتني فانصحني بيني وبينك ، فإني لا آمن عليكم ولا على نفسي حين تنصحني علناً بين الناس ”

“Bila engkau menasehatiku maka hendaknya menasehatiku ketika sedang berduaan denganmu, aku khawatir tak sanggup sabar mendengarkan nasehatmu dan menerimanya ketika kau lakukan terang-terangan di hadapan manusia”.

Berkata Imam Muzani bahwa ia mendengar Syafii rahimahullah berkata:
من وعظ أخاه سرا فقد نصحه وزانه ومن وعظه علانية فقد فضحه وشانه(حلية الأولياء) (ج9 ص 140)

“Barang siapa yang menasehati saudaranya dengan sembunyi-sembunyi maka ia telah benar-benar menasehatinya dengan baik, adapun yang menasehatinya secara terang-terangan hakikatnya ia hanya mempermalukannya”.

Berkata Yahya bin Main:
” ما رأيتُ على رجلٍ خطأً إلا سترته ، وأحببتُ أن أزين أمره ، وما استقبلتُ رجلاً في وجهه بأمر يكرهه،ولكن أبين له خطأه فيما بيني وبينه، فإن قبل ذلك وإلاَّ تركته “. انظر سير أعلام النبلاء :(11/83).

Tidaklah diriku melihat seseorang bersalah kecuali ku tutupi kesalahannya,dan aku berharap dapat memperbaiki kesalahannya, aku tak pernah mendatangi seseorang untuk menasehatinya terang-teranagan yang membuat ia marah, tetapi aku menerangkan kesalahannya ketika berdua dengannya, jika ia terima maka itulah seharusnya,namun jika ia menolak akupun meninggalkannya.

Dengan keterangan di atas, maka jelas hukum asal mengkritik penguasa adalah dengan sembunyi-sembunyi, karena itu yang paling layak diajarkan Nabi dan diamalkan para sahabat.

3. Bolehkan seseorang mengkritisi ulama dan memperbaikinya dengan terang-terangan?.

Jawabnya adalah bahwa hukum asalnya tidak boleh karena akan mendatangkan kemudaratan yang besar sebagaimana yang telah disebutkan di atas.

Namun apabila ada seseorang ulama yang dipandang dan disegani masyarakat maupun “umara” berani menyuarakan kebenaran di depan penguasa dan siap dengan resiko terburuk atas dirinya seperti dizalimi maupun dibunuh, dan dengan bahasa yang bijak lagi santun dengan memilih kata-kata yang terbaik, dan ia yakin tidak akan membuat rakyat memberontak atau dizalimi penguasa lebih dahsyat, maka ia boleh melakukan pengingkaran tersebut. Sekiranya dibunuh, ia dianggap sebaik-baik syuhada.

Itulah yang disabdakan Nabi:

أَفْضَلُ الْجِهَادِ كَلِمَةُ عَدْلٍ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ

”Seutama-utama jihad adalah kalimat yang adil (yang haq) di hadapan penguasa yang zalim.” HR Abu Daud.

4. Mengingkari penguasa di depannya terang-terangan pernah dilakukan sahabat. Sebagaimana yang dilakukan oleh Ubay bin Ka’ab terhadap Umar Bin Khattab ketika Umar mengancam akan menghukum Abu Musa Al -Asyari ketika membawakan hadis Nabi tentang perintah untuk pulang apabila telah mengucapkan salam selama tiga kali dan tidak dijawab oleh sahibul bait.

Dihadapan orang banyak Ubay berkata kepada Umar bahwa ia bersaksi telah pula mendengarkan hadis yang disampaikan Abu Musa itu, kemudian ia berkata:
“يا ابن الخطاب، فلا تكونن عذابًا على أصحاب رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: سبحان الله، إنما سمعت شيئًا، فأحببت أن أتثبت”؛ رواه مسلم .

“Wahai Umar bin Khattab, janganlah engkau menyiksa sahabat-sahabat Rasulullah-shallallahu alaihi wa sallam- “.

Umar berkata: “Subhanallah sesungguhnya aku hanyalah mendengarkan sesuatu (hadis) dan ingin mengecek kebenarannya. HR. Muslim.

Juga pernah dilakukan oleh Ka’ab bin Ujrah atas Gubernur Muawiyah Abdurrahman bin Umi Al-hakam di Kufah yang berkhutbah Jumat dalam keadaan duduk.

Demikian pula pernah dilakukan Ummarah bin Ruwaibah atas Bisyr bin Marwan yang mengangkat tangannya ketika berdoa di khutbah Jumat.

Itu pula yang pernah dilakukan Abu Sa’id Al-Khudri ketika mengingkari Marwan bin Hakam yang mendahulukan Khutbah sebelum sholat Ied.

Dari penjelasan di atas, jelas berbeda cara salafus sholih mengingkari penguasanya dengan orang-orang sekarang yang hakikatnya bukan sekedar mengingkari, lebih dari itu mencela dan mengajak rakyat berani mencela para penguasanya, dengan berdemo dan tindakan-tindakan yang dapat membuat kegaduhan dan menumpahkan darah.

——————————–
Perjalan-Jakarta Bogor, 10 Jumada Ula 1438/7 Feb 2017.

Abu Fairuz My.