Burung tak kan terbang jika hanya memiliki satu sayap, ia kan jatuh binasa sebelum mencapai tujuan.
Hamba tak kan pernah dapat mengetuk pintu Allah, menggapai ridhoNya dan menatap WajahNya hingga ia mampu menjaga keitiqomahan sepanjang hayat.
Keistiqamahan tidak akan dapat tegak lurus kokoh dan menghujam, kecuali sang hamba memiliki dua hal yang tidak dapat dipisahkan.
Pertama, perasaan bahwa ia penuh berlumur dosa, banyak lalai, kurang bersyukur, penuh dengan aib diri, bergelimang kezaliman, jahil, dan melampaui batas.
Perasaan ini membuat ia selalu beristighfar, bertaubat, menghinakan diri, melupakan segala kebaikan yang pernah ia lakukan, khawatir ditolak dengan hadirnya pembatal amal, seperti munculnya riya, ujub, bangga, merasa berjasa terhadap Allah…dst.
Kedua, perasaan syukur dengan segala limpahan rahmat dan karunia Tuhannya yang telah memberinya hidayah, memudahkannya untuk beramal dengan memudahkan sarananya, meyakini bahwa semua kebaikan yang ia lakukan dapat terwujud dengan taufiq-Nya semata, dan meyakini bahwa seluruh nikmat dunia yang diberikan… murni dari-Nya jua, bukan karena kehebatan hamba, ataupun kehandalan ilmu dan kecerdasannya.
Dengan hadirnya perasaan syukur ini, membuat hamba selalu sadar bahwa dirinya tidak punya apa-apa, kalaulah bukan karena Allah. Ia merasa kerdil berhadapan dengan luasnya rahmat dan kasih sayang-Nya.
Bagaikan dua sayap yang dapat menerbangkan burung kepada tujuannya, begitu pula perasaan banyak dosa dan kurang bersyukur bagi hamba, membuat ia selalu memperbanyak istighfar dan mengakui dosa-dosanya.
Sementara perasaan luasnya rahmat dan kasih sayang Allah padanya, membuat ia sadar dan selalu berupaya belajar mensyukuri nikmat-nikmat tersebut dan mengembalikan segala pujian kepada Sang Pemberi nikmat.
————
Jakarta-Batam, 26 Rajab1437/03 Mei 2016
Abu Fairuz