Jujur ana bukanlah ahli nahwu bukan pula ahli shorof. Kalau baca kitab gundul mungkin sesekali salah baris dan salah baca. Sebab salah dalam membaca dan membarisi bukanlah aib bila kesalahan itu terjadi sesekali.
Adapun masalah besar adalah bila kesalahannya berlepotan, hampir di setiap baris kalimat ada kesalahan baca dan membarisi. Lebih fatal lagi dari itu salah dalam memahami makna yang terkandung dalam buku tersebut, dan hal itu sering terjadi.
Lebih runyam lagi bila kajian tersebut di-share seantero negeri, disiarkan melalui televisi dan radio, jejaring sosial dll.
Lebih fatal lagi di dengar para “pembenci dakwah” yang kerjanya hanya mencari kesalahan ustadz. Bila ada satu dua kesalahan mereka share dengan suka cita bagai mendapat “durian runtuh” sambil melecehkan para penghusung dakwah yang sudah kadung “viral“ dan tenar.
Kawan…
Aku tak katakan kita tak boleh salah karena itu keniscayaan dan sifat manusia. Jujur, sesekali alim ulama sekaliber masyayikh dunia saja masih ku dengar salah nahwu-nya. Tetapi pastikan kesalahan itu sesekali dan bukan sering apalagi terus terusan yang menunjukkan ustadz harus belajar lagi, muraja’ah kitab nahwu dan shorof lagi.
Malu rasanya bila jam terbang dakwah sudah kemana-mana namun nahwu shorof berlepotan, tak bisa membedakan antara fa’il dan maf’ul, antara na’ibul fa’il dan maf’ul, antara mubtada’ dan khabar…
Sungguh bila kita terbiasa membaca benar dan mendengar bacaan yang benar, akan benar-benar tersiksa dan sakit hati mendengar bacaan ”kawan” berlepotan kesalahan.
Kawan, mari belajar lagi kaedah bahasa…
Bila belum mampu membawakan dan membacakan kitab gundul, maka tak usah paksakan dirimu, segala macam bentuk sikap memaksakan adalah takalluf yang terlarang. Wallahul musta’an.
Batam, 17 Zulhijjah 1444/07 Juli 2023
Abu Fairuz Ahmad Ridwan