Dulu Islam berjaya karena orang-orang yamg cerdas dan terbaiknya terjun menggeluti ilmu syara’ terjun di bidang agama, mengajarkan ummat tentang sang Khaliq, sifat-sifat-Nya dan hukum-hukum-Nya. Maka muncullah ulama sekaliber Abu Hanifah, Malik, Syafi’i dan Ahmad yang dijadikan figur, disebut dan disanjung sepanjang masa.
Kini orang-orang cerdas yang otaknya cemerlang, hafalan dan pemahaman baik, juara kelas dan rangking di sekolah, berlomba-lomba dimasukkan ke sekolah-sekolah beken dunia, dirancang untuk menjadi dokter, enginer, aparat, pejabat, penguasa, konglomerat, dimasukkan di universitas beken ternama di timur dan barat, dalam dan luar negeri.
Padahal semua titel dan gelar yang kusebut di atas, lenyap bersama zaman. Orang tak kenal siapa pejabat dan konglomerat di zaman Syafii, siapa penguasa dan aparat di zaman Malik, siapa dokter dan enginer hebat di masa Abu Hanafi.
Dulu setiap orang tua memimpikan anaknya jadi ulama, fuqaha, muhadditsun, da’i, imam, tapi kini orang lebih senang bila anaknya menjadi artis, bintang sinetron, penyanyi maupun pemain bola dan atlit.
Betapa menurunnya standar manusia, hingga jebolan pesantren sekalipun, penghafal Quran, bila tamat tujuannya menghafal agar lulus universitas beken tanpa test, lulus menjadi militer tanpa ujian.
Kebanyakan anak santri tahun akhir yang kutanya tentang cita-cita, enggan menjadi guru agama, hina menjadi ulama dan da’i. Sebagian besar mereka bercita-cita menjadi ahli dunia, orang kaya, gaji besar, hidup senang, bisa punya rumah mewah, mobil mentereng, baju berdasi dst…
Hanya pada Allah ku mengadu, krisis ulama, miskinnya penyeru pada kebaikan, hilangnya ilmu akhirat, tersebarnya kebodohan tentang hari berbangkit, jauhnya manusia dari tuhannya.
Apakah akan muncul kembai Syafi’i -Syafi’i muda? Kurasakan berat kawan, karena orang sekarang tak butuh lagi ulama, mereka butuh harta dan pengakuan manusia, kecuali yang dirahmati Allah, dan alangkah minimnya jumlah mereka.
Cikarang, 26 Zulhijjah 1444/15 Juli 2023
Ahmad Ridwan My